Oleh Gusti AsnanGuru Besar Depertemen Sejarah FIB Unand Padang
Sejak didatangi wisatawan pada pertengahan abad ke-19 umumnya dan sejak dijadikan sebagai daerah tujuan wisata pada awal abad ke-20 khususnya, kota-kota, daerah-daerah dan objek-objek wisata di Sumatera Barat mulai dijadikan produk wisata yang akan ‘dijual’ kepada para wisatawan. Sebagai produk yang akan ‘dijual’, maka kota-kota, daerah-daerah atau objek-objek wisata itu diberi label, simbol atau istilah yang akan membuatnya menarik bagi wisata serta sekaligus membuatnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.Seiring dengan perjalanan waktu label, simbol atau istilah tersebut dipertahankan keberadaannya dan ikhtiar itu dilakukan sebagai bagian dari upaya pengkomunikasiannya kepada klayak atau wisatawan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan memberikan perspektif atau image kepada klayak atau wisatawan tentang kota, daerah atau objek wisata yang dimaksud. Dalam dunia marketing, perspektif atau image ini disebut juga branding.
Sehubungan dengan itu, branding kota, daerah atau objek wisata sesungguhnya bukanlah suatu yang baru di Sumatera Barat. Aktivitas ini sudah lazim dilakukan di daerah ini sejak lebih satu abad yang lampau.Ada sebuah evolusi yang menarik dalam sejarah perkembangan branding kota, daerah dan objek-objek wisata di Sumatera Barat tempo doeloe. Pada awalnya upaya ini dilakukan secara personal oleh para wisatawan. Ada seorang wisatawan memberikan label, simbol atau istilah pada sebuah kota, daerah dan objek wisata. Dalam perjalanan waktu, sejumlah wisatawan lain juga memberikan label, simbol atau istilah yang sama atau hampir sama pada kota, daerah dan objek wisata tersebut. Pengulangan-pengulangan pemberian label, simbol atau istilah yang sama itu kemudian menjadi suatu yang melekat, gambaran dan image bagi kota, daerah atau objek wisata itu.
Sejarah pemberian label, simbol atau istilah sebagai dari dari branding terhadap kota, daerah dan objek wisata Sumatera Barat berhubungan erat dengan kedatangan dan aktivitas wisatawan pertama ke daerah itu, yaitu S.A. Buddings yang berwisata di Sumatera Barat pada pertengahan dekade 1850-an. Apa yang dilakukan Buddingh kemudian diikuti oleh sejumlah wisatawan lainnya, seperti H.J. Lion, Bickmore, dan Croockewit yang mengunjungi daerah itu pada dasawarsa 1860-an, 1870-an, dan 1880-an.Apa yang dilakukan secara personal oleh wisatawan-wisatawan di atas kemudian diadopsi atau dicipta-ulang oleh lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pariwisata atau penulis-penulis yang menulis untuk lembaga-lembaga tersebut. Upaya ini dilakukan pada tahun-tahun permulaan abad ke-20. Perusahaan perkapalan ‘nasional’ Hindia Belanda yang dinamai Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM), Perhimpunan Pariwisata Hindia Belanda (Vereeniging Touristen-Verkeer atau VTV), sejumlah Travel Bureau dan organisasi otomotif adalah sebagian lembaga yang ikut-serta memberikan label, simbol atau istilah terhadap kota, daerah dan objek-objek wisata Sumatera Barat.
Ada sejumlah label, simbol atau istilah yang diberikan kepada kota-kota, daerah-daerah atau objek-objek wisata di Sumatera Barat saat itu. Secara umum, label, simbol atau istilah itu dikaitkan dengan tiga unggulan wisata Sumatera Barat, yaitu: pertama, lingkungan alam; kedua, budaya Minangkabau; dan ketiga, potensi utama kota, daerah atau objek wisata yang bersangkutan. Di samping itu label, simbol atau istilah lainnya juga diberikan dengan cara mengomparasikan unggulan kota, daerah dan objek wisata Sumatera Barat dengan yang ada di daerah lain.Secara kronologis label pertama diberikan oleh Buddingh dalam traveloguenya yang dibuat sebagai hasil kunjungannya ke Sumatera Barat pada pertengahan 1850-an. Label itu adalah ‘Paradijs van Sumatra’ yang diberikannya untuk Puncak Titi di Baso. Puncak Titik adalah titik tertinggi di barisan perbukitan yang memisahkan Agam dengan Limapuluh Kota. Dari puncak ini bisa disaksikan pemandangan alam yang indah yang terhampar di sekitarnya. Tidak itu saja, suhu di Puncak Titi ini sangat menyejukan. Puncak Titi saat itu menjadi tempat rekreasi orang Belanda atau pejabat pemerintah Belanda dari Limapuluh Kota, Kota Fort de Kock dan juga dari Padang. Objek wisata lain yang dilabeli Buddingh adalah Singkarak. Dia mengatakan bahwa danau itu sebagai ‘der groosten Meren van den Indische Archipel’.
Buddingh cenderung melabeli daerah atau objek wisata alami di lokasi ‘terpencil’, namun banyak dikunjungi oleh para pejabat/petinggi Belanda. Kehadiran orang Belanda atau peran orang Belanda sangat menentukan dalam pemberian label oleh Buddingh.Wisatawan pemberi label berikutnya adalah H.J. Lion. Lion ini berkunjung ke Sumatera Barat tahun 1869. Berbeda dengan Buddingh, Lion cenderung melabeli kota dan kota yang diberinya label adalah kota Padang. Dia menulis ‘De Padanger zijn vrolijk en Padang is een Feeststad’. Dia membentuk image tentang orang Padang dan kota Padang sebagai orang yang ramah, bersahabat, dan kota Padang sebagai kota pesta (badunia). Pelabelan ini didasarkan pada pengalamannya sendiri. Selama 17 hari di kota itu dia menghadiri 5 pesta dansa, satu kali konser, 2 acara musik, dan pesta malam setiap malam sisanya.
Sama dengan Buddingh, Lion juga mendasari labelnya tentang Padang pada aktivitas orang Belanda dan aktivitas orang Belanda.Label atau simbol Padang kemudian juga dikukuhkan dengan pembuatan Lambang Kota itu. Lambang kota yang secara tegas membuatnya berbeda dengan kota lain. Di samping itu, dengan pembuatan lambang itu, dengan sejumlah simbol yang terpampang padanya, diharapkan muncul spirit warga serta aparat pemerintahannya untuk menjaga, merawat, dan membangunnya. Padang adalah kota pertama di Sumatera Barat yang membuat lambang kotanya.Pada awal abad ke-20 pemberian label semakin beragam. Secara umum, untuk tingkat daerah (Gouvernement atau Residentie), muncul pelabelan ‘Sumatra’s Westkust, Land van Tourisme’ dan ‘Sumatra’s Westkust, Een Land Rijk in Natuurschoonheden’. Pelabelan ini dilahirkan oleh VTV. Pelabelan ini mengandung makna ‘Sumatera Barat, Daerah Wisata’, Sumatera Barat, Daerah yang Kaya dengan Keindahan Alam’.Ada perubahan fokus dan dasar pelabelan dari VTV ini. Objek atau daerah yang dilabeli adalah Sumatera Barat. Sumatera Barat adalah daerah administratif yang di dalamnya berhimpun sejumlah kelompok masyarakat dengan berbagai budaya serta pesona alamnya. Ini adalah sebuah perubahan yang drastis dari pola pelabelan sebelumnya, yang cenderung mengaitkan dengan orang Belanda.
Pelabelan berikutnya pada awal abad ke-20 adalah pemberian julukan kepada kota Fort de Kock (Bukittinggi), Payakumbuh, dan Sawahlunto. Tidak tanggung-tanggung Fort de Kock bahkan dilabeli dengan empat label. Pertama, ‘Fort de Kock, Het Eden van Sumatra’s Westkust’ (Fort de Kock, Surga Sumatera Barat), kedua ‘Fort de Kock, de Hart van Minangkabau’ (Fort de Kock, Jantungnya Minangkabau), dan ketiga ‘Fort de Kock, Centrum van de Matriarchaat’ (Fort de Kock, Pusat Matriarkat), keempat, ‘Fort de Kock, Tentoonstellingstad’ (Fort de Kock, Kota Pameran). Payakumbuh dilabeli dengan ‘Pajakumbuh, Een Levendig Minangkabausch Stadje’ (Payakumbuh, Kota Minangkabau yang Hidup/Meriah’ dan ‘Payakumbuh, Sorrento van Sumatra’ (Payakumbuh, Sorrentonya Sumatra) (Sorrento adalah sebuah kota wisata di Italia Selatan). Sedangkan Sawahlunto dilabeli sebagai ‘Sawahlunto, Mijnstad’ (Sawahlunto, Kota Tambang).Banyaknya label yang diberikan kepada Fort de Kock bisa dikaitkan dengan tumbuh dan berkembangnya kota itu sebagi pusat aktivitas wisata di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Tidak diragukan lagi, Fort de Kock telah tumbuh menjadi destinasi wisata terpenting dan paling ramai di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Di samping itu, pemberian label tersebut juga sebagai bagian dari ikhtiar VTV khususnya dan para pejabat pemerintah Belanda umumnya dalam mengontruksi Fort de Kock sebagai kota atau daerah yang penting dalam imaji adat serta budaya Minangkabau.
Pelabelan terhadap Payakumbuh dikaitkan dengan ramainya hidupnya kota itu dengan berbagai kegiatan. Hal ini dikaitkan dengan posisinya dalam hubungan dengan Pantai Timur Sumatera (Tengah) serta ramainya pasar kota tersebut.Sedangkan ‘Sawahlunto, Kota Tambang’ adalah penegasan dari kondisi ril kota itu sebagai kota pusat aktivitas penambangan batubara.