“Terasa kacangnya,” tulisan ini saya baca pada kaca gerobak motor makanan yang melaju pada sepotong jalan di Padang, Jumat (15/3). Sore itu saya cari angin sekaligus membeli pabukoan, yang sejak beberapa tahun ini, baru tahu, namanya takjil, dari Bahasa Arab.Mobil saya berhenti dan ternyata tukang parkirnya kawan sendiri. Terkekeh tawanya ketika tahu ada kawannya parkir.
Sebelumnya sudah ada di mobil saya seporsi gulai kambing yang tak habis sampai saya puasa lagi keesokan harinya. Sesore itu, belanjaan sekitar Rp100 ribu.Terlepas dari sisi minusnya, yang berpuasa gadang salero, maka terlihat Ramadhan memutar ekonomi rakyat dengan hebat. Sore, rakyat keluar rumah bagai sarang semut tercangkul. Semua berbelanja. Kebutuhan apapun bisa didapat. Ada saja orang yang menjual. Durian pun ada. Waktu puasa pertama dan kedua jangankan tanah, atap saja masih basah, air kelapa muda pun sudah laku. Tak peduli agamanya, semua bersuka cita karena dagangannya laku keras.
Pedagang kecil panen. Pedagang besar juga. Darimana uang itu datangnya, hanya yang punya nan tahu. Di Sumbar tercatat sekitar 1,5 rumah tangga. Jika dijadikan satu juta saja, dan dianggap tiapnya belanja Rp30 ribu takjil tiap hari maka uang yang beredar Rp30.000.000.000. Jika sebulan hitung sendiri.Itu baru untuk hidangan berbuka, belum dihitung kebutuhan lainnya. Kalau kalkulasi pula kebutuhan lebaran, tak sanggup kalkulator HP saya.
Zakat fitrah: jumlah penduduk 0751 ini, 5,7 juta tahun lalu. Zakat fitrah sekitar Rp45 ribu. Rp250 miliar. Belum lagi uang kesalehan, filantropi, sedekah, uang tahlil, anak yatim, rumah ibadah. Tiap malam.Puasa dan khususnya lebaran, Bank Indonesia wilayah Padang menyediakan Rp3.116.695.000.000.
Kemudian THR, baik Anda bekerja atau tidak, ada saja jatah kehidupan. Yang bekerja tapi tak ada THR, diberi rezeki oleh Allah, tak peduli Anda sering tak berpuasa. Puasa tapi banyak tidurnya, banyak makan saat berbuka. Terserah, Anda dapat.Sedemikian perkasanya Ramadhan memutar roda ekonomi, mengagumkan. Bahwa di antara pergerakan ekonomi itu, sebagian penduduk mengeluh adalah hasil dari kurva normal kehidupan. Untuk merekalah disediakan kerendahan hati orang berpunya untuk bersedakah dan sebagainya.
Saya berharap adalah hendaknya ustad ahli ekonomi atau tahu-tahu tanggung soal ekonomi umat. Bicara soal topik tersebut agak sekali di mimbar. Kajian sejumlah pihak menyebut, jika perantau pulang, maka uangnya banyak habis untuk ongkos dan memberi saudara-saudaranya. Ini adalah sisi tolong-menolong yang tumbuh. Saya yakin, ketika memberi itu, seseorang telah menjalankan ajaran agama.Agak sekali pula, bicara tentang tata niaga semua bahan di meja makan. Mungkin ada, saya saja yang tak tahu.Demikianlah Ramadhan yang perkasa, yang membuat jemaah sibuk pada 10 akhir bulan, karena berbagai sebab. Ada yang pulkam dan taraweh di kampung. Semua berbaju baru. Inilah pesta kaum sederhana, beli baju sekali setahun. Tak usah pula dilarang-larang atau diimbuhi dengan “berlebaranlah dengan sederhana.” Memang sederhana, buktinya beli baju yang murah di pelataran dan tepi jalan yang semarak.Ramadhan nanti akan dikunci dengan arus mudik dan balik. Di Sumbar menurut tren penerbangan, lebaran itu sebulan lamanya. Lalu, siapa yang tak bergembira ketika bulan suci itu tiba? Rasanya, semua bergembira oleh sebab yang berbeda.
Ada yang sedih berpisah dengan bulan penuh ampunan ini, karena kesalehannya. Ada yang sudah berusaha sekuat tenaga sedih pulalah hendaknya seperti yang ia dengar di masjid, tapi tak bisa sedih-sedih juga. Ia dengar doa ustad agar Tuhan memberi umur panjang untuk bertemu lagi di Ramadhan yang akan datang. Ia suka doa itu.Dan sekejap kemudian betor “terasa kacangnya,” berbelok ke kiri. Mungkin dagangannya sate madura. Betor terus melaju dan saya tak peduli lagi. Ramadhan memang woke. **