Oleh Gusti AsnanDept. Sejarah, FIB-Unand Padang
Wisata religi adalah suatu produk wisata yang berkembang cukup pesat di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Ada dua definisi yang dipakai dalam aktivitas ini: pertama, berwisata ke tempat yang memiliki kelebihan atau keistimewaan dalam kegiatan keagamaan; kedua, berwisata untuk mendapat berkah atau sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah/ritual keagamaan.Aktivitas wisata dalam pengertian pertama antara lain terlihat dari kunjungan wisatawan ke bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki arsitektur yang unik dan menakjubkan, serta tempat ibadah yang memiliki sejarah atau kisah menarik, Aktivitas dalam pengertian kedua berhubungan dengan kunjungan wisatawan yang bertujuan melaksanakan ritual keagamaan, mendapatkan berkah, atau tausiah, dlsbnya.
Kedua aktivitas di atas disajikan secara langsung atau tidak dalam berbagai buku panduan wisata atau travelogues tentang Sumatera Barat dan juga diberitakan dalam sejumlah media massa, baik yang terbit di Sumatera Barat atau di daerah lain pada awal abad ke-20.Ada beragam penyajian dalam berbagai sumber informasi di atas. Sajian yang paling banyak adalah informasi tentang bangunan atau rumah ibadah. Bangunan atau rumah ibadah ini disajikan dalam bentuk gambar/foto, dan juga dalam bentuk narasi. Karena Sumatera Barat merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beragama Islam maka informasi yang paling banyak disajikan adalah masjid.
Ada banyak masjid yang memiliki arsitektur menarik di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Masjid-masjid itu dikatakan menarik karena memiliki atap (tumpeng) bertingkat tiga atau lima, memiliki ukuran yang besar, terbuat dari kayu, dan beratapkan ijuk. Kadang-kadang dinarasikan mesjid itu sebagai masjid kuno. Di samping masjid kuno, saat itu ada sejumlah masjid yang juga dikatakan menarik karena baru dibangun dan memiliki arsitektur (modern), terbuat dari semen dan beratapkan seng. Masjid baru ini juga dilengkapi dengan menara yang ‘unik’. Masjid-mesjid baru menjadi menarik karena ‘penampilan’ atau arsitekturnya yang berbeda dari masjid yang lazim dikenal di Sumatera Barat ketika itu.Beberapa contoh masjid tipe di atas ada di Taluak, Sungai Puar, Kapeh Panji, Matua, Baso, Koto Baru, Singgalang, Taram, Limo Kaum, Rao-Rao, dan Gantiang (Padang).
Bila dilihat dari lokasinya, maka semua masjid di atas berada pada dua lokasi utama: pertama, terletak di nagari-nagari yang tidak jauh dari destinasi wisata utama, seperti Fort de Kock (Bukittinggi) dan Padang; kedua, berada di nagari-nagari yang terletak pada ruas jalan antardestinasi wisata.Masjid Taluak, Sungai Puar, dan Kapeh Panji misalnya berada di nagari yang dekat dengan Fort de Kock. Mesjid Koto Baru terletak di pinggir jalan antara Padang/ Padangpanjang dengan Fort de Kock. Masjid Matua berlokasi di nagari yang terletak antara Fort de Kock dan objek wisata Danau Maninjau. Masjid Baso berlokasi di nagari yang terletak antara Fort de Kock dan Payakumbuh. Masjid Taram berlokasi di nagari yang tidak jauh dari Payakumbuh. Masjid Limo Kaum dan Rao-Rao berlokasi di nagari yang dekat dengan Fort van der Capellen (Batusangkar). Dan Masjid Gantiang berlokasi di kota Padang.
Lokasi masjid sangat besar artinya bagi kunjungan wisatawan. Wisatawan bisa datang dan berwisata ke mesjid itu karena lokasinya tidak jauh dari destinasi wisata utama, atau mereka datang/berwisata ke masjid tersebut secara ‘sambil lalu’. ‘Sambil lalu’ dalam pengertian mereka singgah karena masjid tersebut berada di pinggir jalan yang mereka lalui di antara dua destinasi wisata yang mereka kunjungi.Pola kunjungan wisatawan religi ini adalah hanya melihat arsitektur masjid yang unik dan menakjubkan, atau mendengar sejarah atau kisah tertentu yang berkaitan dengan masjid tersebut. Umumnya wisatawan yang termasuk kelompok ini adalah wisatawan asing.Tidak diketahui berapa jumlah wisatawan yang berkunjung ke masjid-masjid di atas. Tapi dilihat dari disajikannya berkali-kali masjid-masjid tersebut dalam buku panduan wisata dan travelogues, apalagi disertai dengan informasi mengenai kendaraan apa yang bisa dipakai, serta besaran biaya yang harus dikeluarkan, bisa dikatakan cukup banyak wisatawan yang mengunjunginya.Tidak seperti kelompok pertama, masjid yang memiliki sejarah atau kisah ‘mistis’ relatif terbatas jumlahnya. Walaupun tidak banyak keberadaannya sangat menarik minat wisatawan. Dua satu masjid yang mewakili kelompok kedua ini adalah Masjid Taluak dan Masjid Baso. Kedua mesjid ini, khususnya kolamnya, memiliki kisah sejarah yang berkait dengan kepercayaan supranatural. Ikan di kolam masjid dipercayai sebagai ikan keramat. Saat itu memang ada banyak ikan dalam ukuran besar di kolam masjid, dan ikan-ikan itu sangat jinak sehingga menggemaskan bagi wisatawan yang mengunjunginya. Apalagi ikan-ikan itu mau memakan makanan di tangan para pengunjung.
Wisatawan yang mengunjungi masjid dalam kelompok kedua ini adalah juga wisatawan asing. Cukup banyak wisatawan yang berkunjung masjid ini, apalagi jaraknya tidak begitu jauh dari Fort de Kock.Ada satu masjid yang termasuk kedalam kelompok ketiga, yakni masjid yang dijadikan sebagai pelaksanaan ritual keagamaan. Mesjid yang dimaksud adalah Masjid Ulakan. Pengunjung mendatangi masjid ini untuk melakukan ziarah kubur, minta berkah, dan mengikuti acara basapa, mengenang berpulangnya Syekh Burhanuddin, sosok yang dipercayai sebagai ulama yang pertama kali membawa dan mengembangkan Islam di Sumatera Barat.
Pengunjung yang datang ke masjid ini adalah Urang Awak dan mereka datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Kesaksian seorang ‘wisatawan’ Urang Awak menyatakan ada ribuan pengunjung yang mendatangi Masjid Ulakan pada saat bersafar.Karena menjadi destinasi wisata Urang Awak maka tidak ada informasi tentang Masjid Ulakan dalam buku panduan wisata dan travelogues yang dibuat oleh berbagai lembaga pariwisata Barat atau orang/wisatawan Barat. Objek wisata Masjid Ulakan hanya ditemukan dalam ‘Catatan Perjalanan’ Urang Awak yang mengunjungi masjid tersebut.
Buku panduan wisata dan travelogues juga menyebut bahwa wisata religi di Sumatera Barat juga dilakukan ke bangunan ibadah agama lain, yaitu Kristen dan Budha, agama yang juga dianut penduduk Sumatera Barat non-Minangkabau (terutama orang Belanda dan China).Ada dua jenis bangunan keagamaan mereka, yaitu gereja dan kelenteng. Ada delapan gereja yang sering disebut pada awal abad ke-20. Gereja-gereja itu adalah Oude Kerkje, Kerk aan Belantoeng, S. Fr. Xaverius, S. Theresia, Kapel Zusterhaus di Padang, gereja di Fort de Kock, gereja di Payakumbuh, dan gereja di Sawahlunto.