Rais Yatim dan Kaba Cindue Mato

Foto Dirwan Ahmad Darwis
×

Rais Yatim dan Kaba Cindue Mato

Bagikan opini

Menurut Rais, pertanyaan tentang Parpatiah dan Tumangguang memang susah untuk dijawab karena tidak ada catatan sejarah yang tertulis. Yang ada hanya catatan Padang Roco 1826 di Siguntur, Dharmasraya, yang memperingati ekspedisi Pamalayu serta kebesaran Raja Akarendrawarman, yakni pemerintahan sebelum Aditiawarman. Diyakini kedua putri dari Dharmasraya, Dara Jingga dan Dara Petak, yakni ibu dan etek/makcik dari Aditiawarman adalah Bundo Kanduang dari segi status, bukan dari sudut ke-Ratu-an seperti Bundo Kanduang dalam KCM.Dalam buku ini nampak jelas, Rais juga mengoleksi beberapa buku KCM hasil karya para penulis masa lalu. Hal itu tergambar melalui beberapa tampilan kulit buku KCM yang menghiasi beberapa halaman dalam buku tersebut yang ditulis oleh lima orang penulis berbeda. Tetapi dalam ulasannya tentang KCM, Rais Yatim juga memasukkan kesan-kesan dan pengalaman pribadinya semasa kecil, bahwa pada zaman dulu, sebelum “tukang kaba” bercerita dalam suatu acara kenduri. Ia pernah mendengar nasehat dari seorang tua: “…Iyo, palajarilah pituah-pituah dalam carito Cindue Mato”. Ini membuktikan betapa populer dan bermanfaatnya KCM dalam kehidupan waktu itu, tulis Rais.

Selanjutnya dituliskan juga; inti dari carita dalam KCM seharusnya tidak dilihat melalui kacamata aspek logis dan modern saja. KCM harus dilihat melalui aspek kemanusiaan pra-Islam dan hubungan masyarakat Minangkabau zaman dulu dengan dunia immaterial, seperti anugerah kemampuan senjata dengan dunia gaib. Masyarakat “adat” Minangkabau pra Islam sangat dekat dengan dunia ilmu kebatinan. Simaklah sejarah “batu batikam” misalnya, dunia magis yang menyihir melalui ilmu spiritual yang kuat. Termasuk fungsi daun sirih yang mampu mengungkap rahasia Tiang Bungkuak dalam KCM tersebut. Atau kemampuan orang-orang tertentu yang mampu menahan hujan agar tidak turun, atau mengendalikan angin, dan masih banyak lagi.Bagi orang Minangkabau yang lahir dalam tahun 40an hingga 70an, tentu tak asing lagi dengan KCM. Namun di sisi lain, mungkin tidak banyak di antara kita yang mengetahui tentang arti perkataan Cindue Mato itu sendiri, baik secara harfiah maupun secara majas. Dalam buku ini Rais menjelaskan hal tersebut dengan gamblang. Pendek kata, buku ini bukan hanya sekedar menyalin kembali Kaba Cindue Mato. Tetapi sebuah buku yang sangat informatif, sekaligus memperkaya khazanah warisan keilmuan tentang Minangkabau zaman dulu, yang dapat digunakan untuk bercermin diri di zaman kini, tentu dengan segala dinamikanya.

Menurut Tan Sri Rais lagi, KCM merupakan karya sastra rakyat yang layak diberi penghargaan tinggi dan diagungkan. Bukan saja karena keaslian ceritanya, atau sebagai sastra lisan rakyat sesuai zamannya. Tetapi juga sebagai cerminan hukum ketatanegaraan masyarakat dalam pemerintahan Minangkabau lama yang dinilai sudah cukup lengkap sebelum masuknya Islam.Kerisauan dan Kekesalan Hati Seorang Rais Yatim

Satu hal yang terlihat amat disesali oleh Rais, yakni keadaan “urang awak” sekarang, baik di Ranah Minangkabau maupun di tanah rantau, yang jelas menunjukkan bahwa mereka telah dijajah kembali oleh berbagai pengaruh Barat yang menghancurkan dan memperkosa budaya Timur, termasuk budaya Minangkabau. Hal ini merupakan akibat dari sistem pendidikan modern yang tidak lagi peka terhadap rasio muatan lokal. Kehidupan kita sekarang seperti mengeluarkan vitamin kita di negeri dan negara kita sendiri, tulisnya.Penutup

Sebagai penutup, bagi penulis, secara keseluruhan dari sudut pandang sejarah, budaya dan kesusastraan, buku ini menarik untuk dibahas secara ilmiah. Karena Tan Sri Dr. Rais Yatim menyajikan sebuah tulisan tentang suatu “kaba” yang dilengkapi dengan berbagai informasi terkait lainnya. Sehingga pemikiran pembaca terlebih dahulu dibawa melintas zaman dan melanglang buana menyelami sejarah masa lalu Minangkabau. Seorang intelektual tentu dengan gampang akan dapat menangkap pesan-pesan dalam buku ini, tentang bagaimana masyarakat Minangkabau zaman dulu mempertahankan adat istiadat dan budayanya, serta perbandingannya dengan gejala budaya dalam masyarakat zaman kini. Terima kasih. 

Lundang, Ampek Angkek, 25.03.24Dirwan Ahmad Darwis

(Pecinta sejarah, budaya dan bahasa Minangkabau) 

 

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini