Oleh Mhd. Ilham Armi
Kepala Departemen Penelitian Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB-KMTI) 2023-2026Dalam kurun waktu dekat ini, Sumatera Barat, yang merupakan wilayah etnis Minangkabau, diterpa oleh kondisi alam dan iklim yang tidak menguntungkan. Sontak, hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat Minangkabau akan menjadi apatis atau antisosial? Apakah mereka akan acuh terhadap keadaan sekitar? Meskipun menghadapi kondisi alam yang tidak menguntungkan, masyarakat Minangkabau tetap berpegang pada prinsip hidup yang selalu kolektif, ‘ka mudiak sa antak galah, ka hilia sarangkuah dayuang’ (hidup yang selalu berkelompok). Justru kedatangan bulan Ramadhan menjadi hikmah yang bernilai kebersamaan. Selain sebagai ajang ibadah puasa yang wajib, bulan Ramadhan juga dimanfaatkan oleh masyarakat Minangkabau untuk memperkuat relasi sosial dan kekeluargaan. Pada beberapa kondisi lain, sulit untuk menemukan pola perilaku ideal masyarakat Minangkabau di bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Meskipun tidak mudah untuk memetakan relasi sosial di bulan Ramadhan, tulisan ini akan mencoba menjawabnya dengan sederhana. Apa saja relasi timbal balik yang dominan pada bulan Ramadhan di Minangkabau.
Entitas ‘Pabukoan’: Antara Jual-Beli dan Amalan BaikTakjil di Minangkabau akrab disebut dengan ‘Pabukoan’ adalah suatu fenomena sosial yang mencerminkan relasi organik masyarakat Minangkabau. Pabukoan menjadi praktik berbagi selama bulan Ramadhan yang menunjukkan adanya interaksi yang didasarkan pada saling ketergantungan di antara individu-individu. Uniknya, Jual-beli takjil tidak mengutamakan keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan kebutuhan sosial. Dikarenakan berguna untuk mempererat solidaritas di antara warga setempat. Titik-titik pasar pabukoan ditempati di berbagai pasar tradisional, lapangan, dan jalan-jalan yang luas. Secara dimensial, pasar pabukoan mempertemukan seluruh elemen masyarakat pada satu tempat dan menjadi medium untuk menciptakan jaringan sosial dan ekonomi yang luas.
Selain untuk memenuhi kebutuhan praktis saat berbuka puasa, pasar pabukoan juga menghidupkan nilai-nilai kebersamaan dan saling ketergantungan yang menjadi ciri khas dalam kekerabatan dan tradisi di Minangkabau. Interaksi antara pembeli dan penjual di pasar pabukoan tidak hanya sebatas transaksi jual-beli, tetapi juga merupakan momen untuk berbagi informasi yang dikemas dalam cerita dan mempererat tali kekerabatan. Keberadaan pasar pabukoan menjadi platform bagi masyarakat untuk menunjukkan keahlian memasak demi mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Mulai dari ibu rumah tangga hingga pengusaha kecil, menawarkan berbagai hidangan tradisional dan modern.Lain halnya dengan kondisi tertentu, di mana pabukoan tidak berfungsi sebagai komoditas jual-beli, melainkan sebagai sarana untuk berbagi secara sukarela. Tidak mengherankan jika sering kali terjadi penjualan dengan prinsip 'membayar satu diberi dua atau lebih', bahkan terdapat pabukoan yang khusus disediakan untuk kaum dhuafa di surau-surau atau di beberapa lokasi tertentu. Semangat ini tercermin dalam tradisi 'manyumbang' (menyumbangkan), di mana masyarakat yang mampu secara sukarela membagikan makanan kepada sesama. Lebih dari sekadar ritual berbuka puasa, pabukoan mencerminkan kekayaan budaya Minangkabau dan kerukunan yang harmonis. Di sinilah, tradisi dan perdagangan menyatu, memperkuat ikatan antar manusia, dan mengokohkan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi.
Surau: Episentrum Agama dan PemudaMuda-mudi merupakan masyarakat dengan ‘dimensial harapan’. Serta musala dan masjid (read: surau) menjadi corak keagamaan dan dialektika di Minangkabau. Di Momentum Ramadhan, corak ini menjadi lebih ‘tebal’, di surau perhelatan keagamaan dan dialektika itu dihadirkan dengan bentuk Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) dengan pelbagai cabang yang diperlombakan untuk anak-anak muda di Minangkabau. Terdapat kegiatan membaca Al-Quran sebagai perhelatan utama, disusul dengan Cerdas Cermat atau MFQ (Musabaqoh Fahmil Qur'an), debat bahasa asing (arab/inggris), kaligrafi, khutbah, azan, dan kegiatan-kegiatan yang lain, yang diserupakan dengan cabang-cabang MTQ Nasional. Ajang ini menjadi momentum bertemunya setiap elemen sosial dan keagamaan secara bersamaan, perlombaan diadakan untuk anak-anak upaya untuk melestarikan agama dan kebudayaan -laku hidup di Minangkabau- yang tumbuh di lingkungan surau.
Baik laki-laki maupun perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari semarak kegiatan MTQ di surau. Selain ikut serta dalam perlombaan, mereka diajarkan menjadi pemimpin dan pengorganisasi sebagai bagian dari panitia MTQ. Di setiap nagari, terdapat surau-surau yang acapkali menggelar acara ini secara bergantian sepanjang bulan Ramadan. Pada bulan lain, secara terbatas (jarang) ditemukan acara selama hampir sebulan penuh yang melibatkan seluruh nagari, yang difokuskan di surau-surau. Dalam momentum Ramadhan, upaya ini menstimulus anak muda agar menginisiasi kembali surau sebagai gelanggang keagamaan dan dialektika pertama di Minangkabau. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (SSA) dengan tipologi pemuda, mudo pasurau, mudo palapau, mudo parinsau, mudo pangusu, dan mudo langkisau. Dari kelima tipologi tersebut, mudo pasurau (pemuda pe/ber-surau) adalah model ideal yang diharapkan oleh orang tua di Minangkabau. SSA mendefinisikannya sebagai pemuda ideal yang secara proporsional menyeimbangi adat (budaya) dan agama sebagai gaya hidup. Dengan demikian, surau pada tahap ini menjadi representasi bagi perkembangan pemuda.Manjalang Mintuo: Interaksi Simbolik RamadhanPerkawinan eksogami (satu etnis) di Minangkabau memperkuat hubungan kekerabatan yang bersifat matrilineal dan terikat dengan budaya. Hal ini tercermin dalam hubungan antara menantu dan mertua, khususnya peran istri dengan ibu mertua. Hubungan ini bersifat saling memberi dan menerima, yang menunjukkan adanya interaksi antara keduanya bercorak resiprokal. Salah satu momen yang penting adalah manjalang mintuo, di mana pasangan suami-istri mengunjungi mertua menjelang atau saat bulan Ramadhan atau hari raya. Pertemuan ini menjadi ajang silaturahmi antara dua keluarga besar suku matrilineal di Minangkabau. Selain pertemuan, istri juga umumnya menyiapkan makanan dan ‘pabukoan’ sebagai simbol kedatangan di rumah mertua pada bulan Ramadhan. Meskipun persiapan untuk bertemu manjalang mintuo bervariasi di berbagai nagari Minangkabau, perbedaan tersebut memiliki arti simbolis yang tetap konsisten.Kedatangan menantu menjadi sumber kebanggaan bagi mertua, menjadi contoh dari model komunikasi non-verbal yang ideal. Kebanggaan ini bukan hanya bersifat individual bagi mertua, tetapi juga menjadi teladan bagi tetangga sekitar dan keluarga besar mereka. Etika komunikasi semacam ini menjadi tradisi yang bernilai sosial, yang menciptakan hubungan timbal balik antara menantu dan mertua. Tradisi ini berakar pada perkawinan eksogami dengan nilai budaya yang sama, menandakan adanya relasi organik (khusus) yang terbentuk dalam kerangka perkawinan adat di Minangkabau. Dengan demikian, tradisi manjalang mintuo dapat dilihat sebagai bentuk interaksi simbolik, di mana makna dan nilai-nilai budaya dikomunikasikan melalui tindakan dan simbol. Tradisi ini merupakan bagian integral dari budaya berkeluarga di Minangkabau dan telah dilestarikan selama bertahun-tahun untuk dijadikan teladan oleh generasi mendatang.
Tiga relasi ini pada esensinya telah dikritalisasi oleh masyarakat Minangkabau. Dimana di dimensi-dimensi aktivitas keseharian mereka mengejawantahkan alam rasio yang bergerak intuitif, bertindak tanpa ragu, dan berpikir secara spontan. Relasi ini menjadi habitusnya ‘Ramadhan ala Minangkabau.’