Hampir tidak ada atau sulit ditemukan nama wilayah atau semacam teritorial tertentu yang menggambarkan sebuah identitas lokal Minangkabau di seantaro Indonesia, berupa Kampung Minang atau Padang atau termasuk penamannya di seluruh wilayah Rantau di Indonesia. Biasanya akan ada Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya. Justru di beberapa kota-kota penting di wilayah Provinsi Sumatera Barat ditemukan ada Kampung Cina, Kampung Jawa, Kampung Nias, dan Kampung Kaliang. Gejala empirik ini sangat menarik kita lihat dalam perspektif multikulturalisme. Istilah ‘multikulturalisme’ serta kebijakan multikultural secara umum dipahami secara berbeda oleh negara atau konteks sosial yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial-politik dan budaya mereka. Sementara itu sebagian besar negara-bangsa saat ini terdiri dari lebih dari satu komunitas budaya dan dengan demikian dapat dikatakan sebagai ‘masyarakat multikultural’, sangat sedikit masyarakat adalah ‘masyarakat multikulturalis’, dalam arti menghargai dan mendorong lebih dari satu pendekatan budaya, menggabungkan lebih banyak dari satu pendekatan budaya ke dalam sistem kepercayaan dan praktik mayoritas, dan menghormati tuntutan budaya dari semua atau lebih dari satu komunitas negara-bangsa (Parekh, 2001). Sistem sosial yang memuat nilai dan praktek budaya yang bersentuhan dengan multikuralisme dapat kita lihat pada berbagai realitas teks dan konteks budaya. Tidak dapat dipungkiri dengan jiwa enterprenurnya orang Minang justru membuktikan bahwa mereka menguasai urusan ‘lambuang’ atau seputar makan (kuliner), dibuktikan dengan manjamurnya ribuan rumah makan Padang dengan ikon rendangnya di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai ke beberapa negara di dunia. Malah rendang dinobatkan menjadi makanan paling enak di dunia oleh CNN tahun 2016 dan 2017. Terlepas dari hal di atas, jika ditelaah dari sudut kebudayaan Minangkabau, maka ada hal-hal bersifat filosofi bermuatan toleransi dan adaptasi yang sarat dengan pesan-pesan (content) nilai-nilai budaya positif, yang sebenarnya akan melahirkan harmoni sosial dan sekaligus juga sebagai modal kultural (social capital) “dima bumi dipijak di situ langik dijunjuang”, orang harus tau dan adaptasi pada nilai dan norma budaya masyarakat setempat, agar terjadi keselarasan sosial “Lamak di awak katuju dek urang” dan “tau raso jo pareso”, kedua nilai-nilai budaya tersebut menekankan urgensi nilai-nilai yang harus dipatuhi supaya adanya tertib sosial, sehingga keterkaitan manusia sebagai makhluk individu yang tidak bisa lepas dari konteks sosialnya. Bentuk lain dari adanya nilai-nilai multikulturalisme, yakni ditemukaan pada tradisi “Malakok” bagi etnis lain/ orang datang yang minta diakui sebagai bagian dari entitas kaum tertentu (kamanakan di bawah lutuik), sehingga ia sebagai ‘urang datang’ memiliki posisi sosio-kultural yang jelas dan diakui sebagai bagian dari suatu keluarga kaum (extended family), dan mengikuti tata nilai yang berlaku dalam ikatan kekerabatan yang baru tesebut. Kebiasaan menghindari terjadinya sentimen etnis antar etnis atau meningkat menjadi konflik sosial bertajuk etnisitas. Memang model integrasi sosial ini sangat mumpuni, sangat sulit ditemukan kasus suatu etnis tertentu yang terusir dari ranah Minang karena adanya resistensi dari etnik lokal. Provinsi Sumatera Barat bukanlah sebagai daerah yang homogenitas, di daerah ini hidup etnis lain seperti etnis Mentawai di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di daerah yang heterogenitas tinggi dapat dilihat di Kabupaten Dharmasraya dengan komposisi penduduk dominan Minang dan Jawa (umumnya datang melalui program nasional transmigrasi), selain itu di Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat hidup berdampinganlah orang Minang, dengan keturunan etnis Tapanuli, Mandahiling dan juga Jawa. Kalau di wilayah kota utama, sudah sangat pruralitas terutama Kota Padang dan Kota Bukittinggi, yang mana faktor kolonial dan migrasi penduduk tempo dulu tak bisa terhindarkan tingginya heterogenitas masyarakat di daerah ini, maka terbentuk daerah perkotaan yang indentik dengan multikultural yang istilah dulu identik dengan masyarakat majemuk (plural socities). Paling penting adalah bagaimana merawat nilai-nilai multikulturalisme tersebut dengan konsep keberlanjutan dan disosialisasikan kepada generasi selanjutnya. Menanamkan sikap toleransi, moderasi beragama, akulturasi budaya agar tercipta asimilasi budaya. Membuktikan bahwa orang Minangkabau dengan kultur merantaunya (rantau) juga siap menerima etnis lain yang masuk ke dalam wilayah budayanya (ranah) dan sangat terbuka dengan percamputan entnis melalui amalgamation (perkawinan campuran) asalkan tidak bertabrakan dengan nilai utama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Memakai, sehingga spirit multikulturalisme terus terjaga di ranah Minang ini. ***
Multikulturalisme Orang Minangkabau
Opini lainnya
Bunga Laksmi, Faiza Rahma Yusra, Jasmine Mariza, Rizga Rahman Suci, Sheera Rizqita Ridwan, Siti Sara
Pemahaman tentang HAM dalam Mewujudkan Toleransi Beragama di Lingkungan Sekolah
Pemahaman tentang HAM dalam Mewujudkan Toleransi Beragama di Lingkungan Sekolah
Irfan Pratama,Periska Wulandari, Nabila Aprilia, Rafiatul Al Af Qony, Dwi Jenita Putri
Penegakkan Hukum dan HAM di Lingkungan Kampus: Penghentian Penampilan UKM PHP dalam Acara Bakti Unand 2024
Penegakkan Hukum dan HAM di Lingkungan Kampus: Penghentian Penampilan UKM PHP dalam Acara Bakti Unand 2024
Yesi Elsandra
PKS Menuai Keputusan Politiknya (2)
PKS Menuai Keputusan Politiknya (2)
Aisyah Hamidah, Putri Aliya, Najma Septanov, Asyilla Bilqis, Chilfy Dea Mala, Dexa Osa Berzelliu
Pentingnya Peran Keluarga dalam Mencegah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkoba
Pentingnya Peran Keluarga dalam Mencegah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkoba
eriandi
Selamat bagi Pemenang
Selamat bagi Pemenang
Oleh Dr. Isral Naska
Rekomendasi Ulama dan Organisasi Islam di Pilkada Sumatera Barat
Rekomendasi Ulama dan Organisasi Islam di Pilkada Sumatera Barat