Di lereng Marapi ini, dekar Rao-Rao ini, ada sebuah gudang kopi, kecil saja. Gudang transit itu, tempat kopi robusta dan arabica dikumpulkan dari tanaman pagar petani atau dari ladang-ladang yang jauh dari rumah, yang selama ini tidak diolah, tapi kini mesti dkerjakan karena dipaksa Belanda. Di desa-desa di sini, selalu ada sawah, yang airnya terus-menerus mengalir. Itulah hal pokok dalam hidup. Kopi sambilan belaka, namanya tanaman keras, tanaman tua.
Dan, dari gudang kecil itu, kopi dibawa ke kota, Vander Cappelen. Di sini komoditi ekspor ini, diangkut dari berbagai desa, yang dibeli sangat murah, atau dengan upah petik rendah, lalu dijual sangat mahal. Belanda dengan Sistem Tanam Paksa, berhasil memaksa, menguasai pembelian biji kopi, mengawal jalur distribusi, apalagi pengapalan dan ekspor, tapi tidak ladang, lahan dan proses produksi.Di sebuah rumah, di kawasan Tanah Datar, seorang suami, sangatlah penatnya. Ia dipaksa memetik kopinya sehari penuh bersama sang istri. Sang istri terkapar dalam lelah. Ia menyembunyikan sebagian kopi, yang akan ia jual kepada pedagang pengumpul dengan harga lebih tinggi. Jiwanya luka dihardik-hardik oleh Belanda. Dikecoh, diperbudak. Ia ingin marah, karena mendengar kabar ada Orang Rantai yang tewas ketika memetik kopi beberapa hari lalu. Nasib serupa bisa saja menimpanya, suatu hari setelah ini. Ia tahu, Orang Rantai hanya ada di Sawahlunto, tapi kini justru di kebun kopi. **