Begitu juga halnya dengan sejarah, yang mempunyai makna luas. Sejarah juga sangat erat kaitannya dengan pemikiran, perasaan, perkataan berdasarkan pengalaman. Kekuatan sejarah itu ada pada berbagai sisi kehidupan kita, Gustavson (1995) menulis enam kekuatan sejarah, mencakupi aspek ekonomi, agama, institusi (terutama politik), teknologi, ideologi, dan militer. Termasuk juga soal individu, jenis kelamin, umur golongan, etnis dan ras. Pendek kata, orang yang tidak memahami dan jauh dari sejarah dalam konteks sosio-budaya ia akan terkesan dungu, walaupun ia seorang profesor (di bidang lain). Jika ia jadi seorang pemimpin, ia akan mudah dikibuli, pengikutnya akan gampang dijerumuskan, karena ia tidak mengerti perang budaya yang menghantam alam bawah sadarnya. Lama kelamaan ia akan kehilangan akal melihat semakin lama masayarakat atau kaumnya semakin kacau dan tertinggal. Sejarah adalah pintu kecerdasan, sarana untuk mengungkap kebenaran. Sejarah adalah alat perang dalam memperjuangkan masa depan sebuah bangsa/suku kaum.
Sekitar 1950an, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill (1864-1965) pada suatu kesempatan pernah berpesan kepada seorang anak muda James Humes (penulis pidato Presiden AS): “…Pelajari lah sejarah, pelajari sejarah! Di dalam sejarah ada semua rahasia tata negara. Bahkan, di dalam sejarah terdapat jauh lebih banyak hal. Begitu banyaknya, sehingga pertempuran atas sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kita dilihat oleh banyak orang sebagai pertempuran atas identitas nasional kita dan nilai-nilai masyarakat kita.” Sementara itu, penyair dan musisi kulit hitam berpengaruh AS Gil Scott-Heron (1949-2011) mengatakan “…Jika Anda tidak tahu dari mana anda berasal, maka anda tidak akan tahu ke mana anda akan pergi. Anda harus mempelajari sejarah Anda!” (Apakah Indonesia masih mengajarkan sejarah?)
Lalu, dimana letaknya peran agama?
Disebabkan tulisan ini terkait dengan Minangkabau, dan karena budaya itu adalah cara hidup atau way of life kata orang Inggris, maka di Minangkabau agama adalah tempat bersandarnya budaya. Di sinilah letaknya falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Inilah landasan jati diri budaya orang Minangkabau. Adat itu artinya peraturan yang dibuat, ketika peraturan itu sudah menjadi kebiasaan hidup, maka budaya lah namanya.
Masalahnya, berapa persen orang Minangkabau hari ini yang melihat ABS-SBK itu penting sebagai dasar jati diri mereka? Berapa persen yang tau tentang sejarah ABS-SBK, tentang fungsi dan peran ABS-SBK yang selama ini telah menciptakan keharmonian dalam kehidupan tanpa mereka sadari? Hanya segelintir orang mungkin yang benar-benar paham dan peduli, sementara yang lain tidak paham, atau ‘masa bodo’, atau pura-pura tak tau. Sementara itu mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) yang dipelajari di sekolah-sekolah dari tahun 1994 sebagai sarana resmi untuk memahami dasar-dasar ABS-SBK, termasuk sejarah Minangkabau sudah dihabisi pada 2013. Hingga kini lebih kurang 10 tahun sudah BAM berlalu. Anak-anak Minangkabau di Ranah kini tidak lagi belajar tentang adat budaya mereka. Jadi tidak mengherankan jika hari ini banyak anak-anak yang tidak tahu sopan santun ciri khas budaya Minangkabau, walaupun mereka sekolah agama dan pintar ngaji.
Sedangkan adat Minangkabau itu sangat mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi adalah salah satu ukuran martabat seseorang. Etika menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu Minangkabau. Adat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu telah memastikan, bila moralitas suatu bangsa sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu kelak bangsa itu akan binasa, akan hancur lebur ditelan sejarah. Dengan demikian, adat Minangkabau telah mengatur dengan jelas tata kesopanan dalam pergaulan (Salmadanis & Samad 2002:116).Kecerdasan Minangkabau ada pada kepintaran mereka dalam menggunakan kekayaan simbol-simbol yang mereka miliki, dan simbol itu mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Baik simbol dalam bentuk kata, tindakan atau benda. Sebagai pengguna simbol, kecerdasan orang Minangkabau meliputi kecerdasan sikap dan jati diri, seperti kecerdasan bahasa (dalam petatah petitih) atau melalui pesan-pesan kausatif. Juga kecerdasan interaksi dengan alam, memposisikan diri sebagai makhluk Tuhan. Semua kecerdasan tersebut terbentuk melalui kesadaran memaknai diri, alam dan Tuhan. Sehingga memunculkan sugesti yang kuat dan bermuara pada penanaman budi baik (etika) dalam prilaku masyarakat (Yulika (2017).
Penutup
Tulisan ini adalah pesan kepada masyarakat Minangkabau, terutama kepada pemerintah dan para tokoh-tokoh yang benar-benar peduli terhadap masa depan generasi. Sebab itulah dalam beberapa kesempatan, saya sering kali menyampaikan bahwa aspek budaya, bahasa dan sejarah merupakan tiga pilar penting tegaknya dan kuatnya jati diri budaya seseorang. Apabila ketiga-tiga pilar tadi lemah, maka jati diri akan lemah. Ketika jati diri sudah lemah, maka semuanya akan turut melemah; rasa persaudaraan dan persatuan akan lemah, pandangan hidup akan pendek, hidup akan mementingkan diri sendiri, daya pikir akan melemah. Akibatnya, tanpa sadar, kita akan mudah emosi, mudah dihasut, difitnah dan diadu domba, tidak tau siapa kawan siapa lawan. Terkadang kawan dianggap lawan, lawan dianggap kawan. Jika terlibat dalam satu pertandingan, bila kalah tak terima, bila menang sombong dan senantiasa mengejek. Ini semua contoh ciri-ciri jati diri budaya seseorang/sekelompok orang yang sudah terkikis, dan sedang menuju kepada manusia/bangsa yang tidak beradab.
Andai kata, keadaan ini masih berlanjut, dan masih tidak ada tindakan yang bersungguh-sungguh terutama dari pihak pemerintah, maka akan malang lah nasib Si Minang ini. Generasi ini akan hanyut dalam suatu fatamorgana kehidupan sebagai pemuja yang taksub terhadap modernisasi dan globalisasi. Senantiasa akan bangga memakai baju basalang (pinjaman). Bangga dengan segala hal yang berbau luar negeri, bangga dengan bahasa orang. Mereka tidak tau bahwa kecerdasan Minangkabau itu salah satunya terletak pada bahasanya: di Minangkabau, nan pusako itu adolah kato (bahasa). Sekian dan terima kasih!