Kontruksi Awal Lembah Anai: Jalur yang Mulanya Dianggap Mustahil

Foto Novelia Musda
×

Kontruksi Awal Lembah Anai: Jalur yang Mulanya Dianggap Mustahil

Bagikan opini

Oleh: Novelia Musda

Salah satu ikon ilustratif Sumatera Barat adalah jalan sepanjang Lembah Anai. Tidak lengkap video dan foto dokumentasi perjalanan pelancong ke provinsi ini tanpa menyertakan air terjun dan jalan yang berkelok-kelok serta jembatan besi kereta api yang melintang tinggi di sana. Seorang perantau Minang jika teringat kampung halamannya secara disadari atau tidak akan memutar potongan memori akan Lembah Anai, karena jalur itulah yang paling berkesan baginya menuju nagari tempat dunsanaknya tinggal, atau mungkin sekedar kenangan jalan-jalan masa sekolah. Bagaimana sejarah awal mula jalan yang ikonik tersebut?

Lembah Anai dalam literatur Belanda abad 19 disebut de Kloof, artinya ngarai atau lembah. Kata ini sinonim dengan kata-kata lain seperti ravijn dan gat. Walaupun kata ini dengan awal huruf kapital jika ditalikan dengan Sumatra’s Westkust seringkali merujuk ke Lembah Anai dalam tulisan-tulisan bersifat laporan, perjalanan atau ekspedisi ilmiah khususnya oleh orang-orang Belanda masa lampau, tapi untuk lebih spesifik digunakan frasa: de kloof van de rivier Ané atau de kloof der rivier-Aneh (Lembah Batang Anai). Seorang botanis Jerman, Dr. K Giesenhagen, yang melakukan perjalanan melintas Sumatera awal abad ke-20 dalam karyanya Auf Java und Sumatra (di Jawa dan Sumatera, Leipzig 1902) memberi kata Jerman untuk tempat itu: Schlucht bei Padang Pandjang, dan memberi tambahan kata yang sama untuk Ngarai Sianok, Kerbauenschlucht, yang dalam bahasa Belanda justru disebut karbouwengat.

Sebelum konstruksi jalan Lembah Anai, perhubungan dari Kayu Tanam ke pedalaman Minangkabau sudah ada lewat bukit Ambatjang. Dalam Sumatra’s Westkust van 1819-1825 (Sumatera Barat 1819-1825), EB Kielstra menyebut bahwa Letnan Kolonel Raaff adalah yang pertama mendapat informasi kemungkinan transportasi militer dari Kayu Tanam ke pedalaman melewati bukit Ambacang, terus ke Tambangan dan Sipinang pada akhir Desember 1821. Melalui Ambacang tersebut disebutkan hanya perlu tiga jam dari Kayu Tanam ke Tambangan. Jalan tersebut akhirnya diperintahkan dalam resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Raad tanggal 19 Ferbuari 1822 No. 16 untuk diperbaiki secara signifikan dengan supervisor seorang kepala pribumi, Radja Melano. Karena medan yang sukar, meski diperbagus jalan tersebut masih terlalu sukar ditempuh, apalagi membawa barang-barang berat. Tidak hanya kecuraman reratanya sampai 22 derajat, pada banyak titik jalur begitu sempit dengan kedua sisi jurang yang dalam

Oleh karena urgennya memperoleh koneksi yang lebih baik dengan pedalaman Minangkabau terkhusus di masa perang yang masih berlangsung, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch, yang berkunjung ke Sumatera Barat tahun 1833 memerintahkan konstruksi jalan baru lewat Lembah Anai. Dalam karya HM Lange, Het Nederlandsch Oost-Indisch Leger ter Westksut van Sumatra (1819-1845) (Pasukan Hindia Belanda di Sumatera Barat), disebutkan bahwa tanggal 23 September 1833, van den Bosch memerintahkan dua orang anggota De Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indië (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam untuk Hindia Belanda), Burger dan Korthals, yang turut bersamanya melakukan survey apakah mungkin dibuat jalan di jalur tersebut. Burger menyebut jalan tersebut sangat sulit dibuat tapi bukan tidak mungkin, sementara Korthals lebih pesimis lagi dengan menganggapnya mustahil. Pada prinsipnya, mereka tidak merekomendasikan. Namun, pejabat tertinggi Hindia Belanda tersebut memutuskan tetap dibuat sehingga pada 3 Oktober 1833 dimulailah pengerjaan secara serentak: Burger dan HM Lange sendiri (ketika itu masih Letnan) dari arah Padang Darat, dan Haccou dari bawah. Setelah dua yang disebut pertama kembali ke Jawa, Haccou yang diserahi misi melanjutkannya.

Pembangunan jalan Lembah Anai itu tentu memakan banyak biaya. De Stuers dalam karyanya De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Amsterdam, 1849) membilang angka 88 ribu gulden. Data tersebut hanya untuk pengerjaan pada 1834, di mana sebagian untuk tenaga orang-orang asing yang bekerja, kuda beban, kereta; pemeliharaannya per bulan butuh paling kurang 5.000 gulden. Tambahannya adalah 400-an orang buangan serta kuda-kuda berasal dari Jawa, Bima dan Makasar. Tenaga inti jelas dari para kuli pribumi. Residen Sumatera Barat saaat itu, E Francis, mengatakan dalam tulisannya (Herinneringen uit den levensloop van een Indisch' ambtenaar van 1815 tot 1851-Kenangan Karir Seorang Pejabat Hindia Belanda 1815-1851) bahwa dia diperintah langsung oleh van den Bosch memfungsikan sepenuhnya jalan tersebut meski dana yang ada tidak memadai sehingga dia memanggil penduduk pribumi (algemeene oproeping) untuk turut serta.

Pernyataan de Stuers bahwa orang-orang pribumi yang bekerja di sana bekerja rodi (corvee) dibantah oleh HM Lange, yang menyebutkan bahwa setiap kuli pribumi justru dibayar lumayan 50 sen per hari; ini sesuai keputusan Komisaris Jenderal di Fort de Kock tanggal 2 Oktober 1833 No. 283 yang menyebut semua kuli di Padang Darat dan Padang Pesisir yang terhitung bekerja pada berbagai proyek Pemerintah mulai 29 September dibayar gajinya; lagipula, Lange menemukan catatan rekening koran senilai 2115,94 gulden serta 533,50 gulden khusus untuk upah para pekerja.

Salomon Müller yang di tahun 1834 menghabiskan enam bulan melakukan penelitian alam di Lembah Anai menyaksikan bahwa jalan yang mulai dibangun setahun sebelumnya ini diperindah oleh Residen Padang Darat Van den Berg. Rerata kemiringannya hanya 2 ½ derajat, jauh lebih landai daripada via Ambacang. Sang naturalis menyebut ketika itu lebar jalan umumnya sepuluh sampai dua belas kaki dan pada titik-titik yang sulit senantiasa disempurnakan. Selain untuk kepentingan pergerakan militer dari Padang ke pedalaman Minangkabau, jalan de Kloof untuk periode selanjutnya rutin dibahas oleh penulis-penulis Eropa baik yang berkunjung maupun yang bertugas ke Sumatera Barat.

Selanjutnya, jalan ini selain untuk transportasi manusia juga rute utama pengangkutan kopi dari pedalaman. Selain pejalan kaki, kerbau dan kuda sering menghilir mudiknya. Menurut Marion Buys yang berkunjung pada 1860-an, segmen jalan Lembah Anai yang sepanjang 10 km itu masih dipelihara dengan biaya khusus bersumber dari hasil tebusan rodi yang dibayar setiap kepala 6 gulden per tahun. Biaya ini boleh jadi digunakan di antaranya untuk upah pekerja, karena Verkerk Pistorius dalam karyanya Studien over de Inlandsche Huishouding in de Padangsche Bovenlanden yang terbit di tahun 1871 menyebutkan bahwa jalan di Lembah Anai pada tahun 1860-an senantiasa diperbaiki oleh para pekerja, dengan upah 8 gulden per bulan.

Jalan di Lembah Anai tercatat sejumlah kali mengalami kerusakan akibatnya mengamuknya arus Batang Anai. Sehingga, beberapa kali jalurnya mengalami perubahan. Pada tahun 1854, sejumlah jembatan yang berada di jalur arusnya hanyut semua dan badan jalan pun terban. Dan tidak hanya jalan, tapi rel kereta api pun jadi korban keganasan batang air yang bermuara di gunung Singgalang tersebut. Baru pada masa awal operasionalnya saja, pada 1892, konstruksi lanjutan bantaran justru menyempitkan celah Anai. Walhasil, banjir di Batang Anai jauh lebih besar dari yang pernah terjadi sebelumnya sehingga beberapa jembatan dan 1,5 km rel terbawa arus. Kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa bahkan tanpa campur tangan kerusakan oleh manusia aliran Batang Anai sudah dari dulu secara berkala menjadi amukan arus yang luar biasa destruktif. Ulah manusia yang mempersempit alirannya atau mengambil haknya lah yang membuat amukan itu semakin menggila. Bencana galodo pada 11 Mei 2024 kemarin hanyalah ulangan dari sejarah: sejarah yang tak hanya tidak diambil pelajarannya dengan baik, tapi juga diabaikan untuk kepentingan jangka pendek.(*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini
pekanbaru