Tiada Lagi Prof Salim Said

Foto Ilham Bintang
×

Tiada Lagi Prof Salim Said

Bagikan opini
Ilustrasi Tiada Lagi Prof Salim Said

" Sahabat kita, wartawan senior, tokoh pers dan perfilman Nasional, Prof DR Salim Said, telah tiada. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun." Begitu saya mengawali pengumuman. Baru menulis sebaris itu, tetes air mata langsung turun menggarisi pipi.

Mantan Duta Besar RI Republik Ceko itu mengembuskan nafas terakhir Sabtu (18/5) malam pukul 19.33 WIB di RSCM. Ia meninggal dunia dalam usia 80 tahun ( kelahiran Pare-Pare, 10 November 1943). Meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Amparita, putri sulungnya yang tinggal di Amerika Serikat, tampaknya tidak sempat pulang ke Tanah Air. "Semalam kami sudah video call," cerita Hera di rumah duka.

Saya tengah bersantap malam di rumah saat menerima pertama kali berita Salim wafat. Aktris Jajang C Noer yang mengabarkan via WhatsApp ( WA).Makan malam saya hentikan. Tapi saya masih tidak percaya WA itu. Saya telpon Jajang. Dia mengaku memperoleh kabar dari kemenakan Kak Hera yang mengingormasikan "live" dari RSCM. Jajang percaya karena kemenakan itulah yang selama ini bergantian bertugas menunggui Prof Salim selama di HCU. Konfirmasi terakhir sebelum berita duka saya sebarkan dan kemudian dikutip dan dasar pemberitaan pelbagai media, saya dapatkan dengan mengontak langsung Kak Hera.

" Benar. Bung,telah tiada," kata Hera.

//Sosok Lengkap//

Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Salim sosok lengkap : ilmuwan, wartawan, seniman, budayawan, pakar militer, pengamat politik.

Saya mengenal almarhum lebih 40 tahun lalu. Meski satu kampung - sama-sama dari Sulawesi Selatan--praktis kami baru saling mengenal setelah di Ibukota.

Namanya sudah sangat sohor sebagai wartawan yang disegani --salah satu pimpinan majalah Tempo -- sewaktu saya baru memulai karir jurnalistik di Harian Angkatan Bersenjata ( HAB) di tahun 1976. Di HAB sendiri, Prof Salim malah lebih dulu bekerja, di awal terbit tahun 1965, sebelum akhirnya ikut mendirikan Majalah Tempo bersama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri. Ketika memutuskan mundur dari Tempo, saya termasuk yang dimintai saran dan pertimbangan.

Perkenalan pertama kami di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan di Pusat Kesenian Jakarta itulah selanjutnya kami sering bertemu, berdiskusi, tepatnya berguru, urusan kesenian dan terutama film karena ia memang sudah dikenal luas sebagai kritikus film. Hampir setiap sore, pulang kantor, Salim mampir di TIM bertemu dengan seniman-seniman beken, seperti Sumandjaya, Ami Priyono, Wahyu Sihombing, Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan banyak lagi.

Mengikuti diskusi para seniman besar itu saja sudah sebuah kenikmatan tersendiri. Semacam oase ilmu yang kami hirup setiap hari. Kecintaan Salim terhadap film tak pernah lekang. Semasa menjadi Dubes RI di Republik Ceko, setiap tahun dia menyelenggarakan semacam kegiatan festival film Indonesia. Saya kebagian tugas menghubungi pemilik film, dan mengurusi pengiriman filmnya ke sana. Meski saya tidak punya kesempatan memenuhi undangannya berkunjung ke Praha, Ceko tempat dia bertugas.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini