Memang benar, kalau dihitung berdasar data jumlah siswa se-Indonesia, program makan siang gratis kelihatannya akan mengeluarkan dana besar. Sebagai contoh, hitungan (exercise) dengan mengambil angka Kemendikbud Ristek dengan jumlah siswa 53,14 juta, jika alokasi makan siang gratis rata-rata Rp 20.000/hari/siswa, maka kebutuhan anggarannya Rp 1.063 triliun.
Sedangkan kebutuhan yang harus dialokasikan untuk program makan siang gratis bagi siswa dengan asumsi 25 hari belajar dalam APBN tahunan, senilai Rp 318,84 triliun. Dibandingkan dengan keluhan Presiden Joko Widodo atas beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp 502 triliun dan keprihatinan Menkeu Sri Mulyani atas penyimpangannya, maka alokasi untuk program makan siang gratis itu belumlah seberapa.
Meski begitu, tetap saja terkait skema, alokasi anggaran, dan kewenangan implementasi programnya, pemerintah harus mempertimbangkan keterbatasan anggaran (budget limitation) yang ada. Sebagaimana ketentuan UUD 1945, alokasi APBN kementerian/lembaga porsinya telah terbagi sesuai arah dan prioritas pembangunan nasional tahunan disatu pihak. Dipihak lain, pemerintah mengklaum telah menyalurkan Bantuan Pangan kepada 1,4 Juta KK untuk program stunting melalui BUMN holding pangan dengan anggaran mencapai Rp1,2 triliun.
Pertimbangan realokatif lain, yaitu sebanyak 20% dari total APBN telah menjadi hak mutlak yang dialokasikan secara tetap (fixed) untuk Kemendikbud Ristek. Atau melakukan rasionalisasi kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sejumlah Rp502 triliun yang banyak penyimpangan. Atas dasar ini, maka rancangan program makan siang gratis dapat dijalankan dengan membagi proporsi program dan kegiatan di Kemendikbud Ristek dan program subsidi BBM menjadi relevan. Skema dan kewenangan yang konvensional ini mungkin ada konsekuensinya atau akan berdampak pada rasionalisasi anggaran program dan kegiatan tengah berjalan (existing) Kemendikbud Ristek dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
Di luar itu, banyak skema lain untuk melakukan kebijakan program makan siang gratis. Apalagi, kalau peruntukkannya dibatasi hanya bagi kelompok siswa miskin atau dari orang tua tak mampu, maka alokasi anggaran menjadi kurang dari Rp 318,84 triliun. Kewenangannya pun tidak harus atau hanya berada pada Kemendikbud Ristek, melainkan lintas kementerian/lembaga.
Apalagi kalau kebijakan program juga melibatkan banyak pemangku kepentingan (multi stakeholders), seperti pemerintah daerah (pemda) provinsi/kabupaten/kota serta perusahaan swasta besar/korporasi dan BUMN, tentu akan semakin ringan. Untuk mengonsolidasikan program makan siang gratis, maka presiden terpilih mendatang perlu melakukan sinergitas antarkementerian/lembaga dan menggabungkan kementerian kesehatan dan sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Ini baik terkait skema, anggaran, maupun kewenangannya, agar mencapai sasaran
Manfaat Dan Dampak SektoralOleh karena itu, program makan siang gratis jelas merupakan sesuatu kebijakan yang masuk akal (rasional), sekaligus konstitusional dalam membangun sumber daya manusia berkualitas, sehat, dan kuat, dengan asupan gizi cukup sejak dini. Banyak negara sudah memiliki kebijakan program makan siang gratis (school feeding) di sekolah, entah berupa sarapan, makan siang, atau keduanya.
Program ini juga tercatat dalam laporan The State of School Feeding Worldwide 2022 dari World Food Programme (WFP). WFP mendefinisikan school feeding sebagai penyediaan makanan untuk anak-anak melalui program berbasis sekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat berdampak pada setidaknya sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan mengatasi kemiskinan-pengangguran atau perlindungan sosial.
Menurut WFP, anak-anak yang mendapat asupan gizi bagus bisa belajar dengan lebih baik, lebih berpeluang mengoptimalkan potensinya saat dewasa, dan meningkatkan prospek penghasilan mereka. WFP juga menilai program makan gratis di sekolah bisa memberi manfaat langsung bagi petani kecil, mendukung produksi pangan dan perekonomian lokal, serta menopang adanya pasar makanan yang beragam dan bergizi.