Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Foto Novelia Musda
×

Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Bagikan opini
Ilustrasi Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Karena spesialisasi Salomon Müller adalah ornitologi, dia dengan perhatian mencatat sejumlah spesies burung di lereng gunung seperti Psilopogon pyrolophus, Edolius rotifer, Tisnalia concreta, Pomatorhimis montanus, Muscicapae, Columba ruficeps, Columba capellei, Izos bimaculatus dan Dicaeum flavum. Namun, ada keanehan yang dirasakan oleh Müller, yakni tidak ada tanda-tanda mamalia di sana. Tak ada jejak badak, tak terdengar pekik siamang. Ketika pemandu pribuminya mengatakan bahwa di seluruh Gunung Marapi tak satu pun terdapat kera, Müller seakan tak percaya karena biasanya pada rimba-rimba Sumatera sangat lazim menemui primata. Apakah mungkin karena mengenali sifat gunung ini yang sangat berbahaya atau suatu erupsi luar biasa di masa lalu membuat mamalia trauma dan menjauhi Marapi?

Periode Normal dan Aktif Marapi

Menurut Verbeek, dapat dibedakan dua aktivitas vulkanis Marapi: saat normal dan saat sangat aktif. Apabila normal, aktivitas gunung hanya muncul dari dalam fumarol-fumarol (lubang pada kerak bumi yang mengeluarkan uap) pada kawasan kawah dan sesekali gemuruh ringan yang hanya terdengar dari jarak dekat. Fumarol ini mengeluarkan uap air yang hanya bercampur sedikit belerang. Dalam fumarol yang besar, batu-batu andesit biasanya merekat satu sama lain oleh kandungan belerang putih atau putih-kekuningan.

Jika sangat aktif, dengan sela masa tenang antara tak beraturan, maka yang keluar adalah kolom abu pekat, diiringi gempa dan gelegar, berikut blok-blok batu andesit berukuran besar. Ketika periode ini, batu-batu besar itu telah dilihat dari arah Padang Panjang oleh sejumlah orang seperti gumpalan-gumpalan menyala warna gelap. Batu-batu andesit yang keluar terlempar hingga radius 1 km dari kawah, dan bahkan dalam radius setengah kilometer batu-batu raksasa ditemui berhimpitan satu sama lain. Menurut Verbeek, batu-batu ini kemungkinan dapat menyumbat kawah aktif selama berbulan-bulan sehingga ketika kawah tersebut erupsi, batu-batu itulah yang paling dahulu terlempar sebelum abu dan batu-batu serta serpihan-serpihan lebih kecil. Di tahun 1876, gunung ini memasuki periode amat aktif demikian.

Kawah-Kawah

Untuk Marapi, ketiga penulis menggunakan istilah pribumi agak berbeda untuk kawah (krater). Müller menyebutnya pakoentan, Korthals kapoendong dan Verbeek menulis pakoendan. Yang dimaksudkan ketiga naturalis tersebut kemungkinan besar kata kapundan (kepundan). Selain krater, mereka juga menggunakan istilah lain ketel dan kraterketel, yang pada prinsipnya sama-sama dapat diartikan kawah atau kepundan.

Müller menyebut ada tiga kawah: pakoentan toea, pakoentan tenga dan pakoentan bongsoe. Ukuran terbesar dimiliki oleh kawah tertua (pakoentan toea), panjang 519 meter dan lebar 324 meter. Pakoentan tenga yang dalamnya 40 meter memiliki dasar kering dan di beberapa titik mengeluarkan asap. Kawah yang masih aktif sampai sekarang hanyalah pakoentan bongsoe. Dari lubang dan celah-celah kawah ini keluar terus menerus uap air dan uap sulfur dengan sangat tenang. Dapat disimpulkan Müller dan Korthals mengunjungi Marapi dalam periode normalnya.

Berbeda dengan Müller, Korthals menyebut pakoentan bongsoe dengan kapoendong poeti bongsoe. Korthals mendapat cerita penamaan kawah ini dari penduduk lokal. Di puncak gunung dahulu kala tinggallah nenek moyang orang Minangkabau bernama Poeti Bongsoe setelah melabuh dari pelayaran yang jauh. Daratan di bawah masih penuh dengan air. Setelah air surut, barulah Poeti Bongsoe turun ke Priangan-padang-pandjang dan mendirikan Kerajaan Minangkabau.

Verbeek lebih merinci deskripsi kawah-kawah Marapi. Ada kawah-kawah telah runtuh (ingestorte kraters) yang dapat dikenali dari adanya sejumlah bekas dinding berbentuk lingkaran beragam ukuran. Kawah-kawah belum runtuh memiliki bentuk corong yang indah, jumlahnya delapan di masa Verbeek (A, B, C, D, E, F, G dan H). Di bagian timur puncak Marapi ada dua kawah yang sudah lama tidak aktif: pakoendan mati (krater H) dan kawah G. Verbeek sendiri berhasil mencapai dasar pakoendan mati. Di bagian barat puncak ada disebutnya krater A, B, C, dan D dan satu put (harfiahnya: sumur atau lubang), yakni put E, yang kadang disebutnya saja krater E. Dan ada satu krater lagi dekat B, yakni krater F. Kawah terbesar di bagian ini, krater A, disebut juga pakoendan gadang. Dari seluruh kawah tersebut Verbeek menduga yang masih aktif adalah D, E dan F, dengan krater E yang paling aktif, khususnya di tahun 1876 dan 1877.

Karena struktur kawah dapat berubah dari waktu ke waktu sebagai dampak aktivitas vulkanis beragam skala, tentu ada perbedaan struktur kawah Marapi yang sekarang dengan 150 tahun lalu. Letusan sejak 2023 sampai sekarang disebut berpusat di sekitar kawah Verbeek. Barangkali yang dimaksud kawah Verbeek ini salah satu dari krater D, E atau F.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini