Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Foto Novelia Musda
×

Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Bagikan opini
Ilustrasi Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Erupsi 1876-1877

Pada 4 April 1876 keluarlah kolom abu pekat amat besar yang terus berulang dalam volume lebih kecil. Di bulan Agustus tahun yang sama, seorang opziener (pengawas) Faber mendaki puncak untuk melihat dampak erupsi. Sewaktu dia sedang sibuk melakukan survey tak jauh dari kawah, tetiba terdengar dentuman amat besar serta keluarlah kolom asap tebal yang segera menutupi kawasan sekitar dengan abu. Para kuli yang menyertainya langsung kabur tunggang langgang. Faber sendiri turun ke Sungai Puar. Esok harinya dia memberanikan diri kembali ke atas dan mendapati sekitaran kawah sudah penuh oleh batu-batu andesit berukuran besar, bahkan ada yang ukurannya sampai 12 meter kubik. Dari Agustus sampai Desember 1876 masih terjadi sejumlah gempa vulkanis, bunyi dentuman dan keluarnya kolom-kolom abu yang tebal.

Pada bulan Desember, karena gunung terlihat sudah agak tenang, insinyur tambang van Schelle naik ke puncak Marapi. Waktu hendak turun ke bukaan kawah, sejumlah besar bebatuan augietandesiet seukuran biji kacang hingga kepala kanak-kanak tiba-tiba dilemparkan dari dalam kawah, sehingga sang ilmuwan segera menjauh. Bermalam dekat puncak, sewaktu berdiang di perapian tiba-tiba terasa guncangan hebat, diiringi dentuman keras, lalu diikuti keluarnya abu yang dalam hitungan menit menyelimuti sekitaran. Van Schelle mengumpulkan abu ini yang terdiri dari bubuk augietandesiet. Esoknya—antara nekad dan penasaran-- dengan ditemani Letnan Infanteri Kellerman dia mendekat lagi ke kawah dan mendapati bahwa pipa kawah yang kemudian hari diidentifikasi sebagai krater E oleh Verbeek, yang sebelumnya kosong ternyata sudah penuh oleh massa sangat cair di dalam mana batu-batuan besar terlihat mengapung kian kemari. Tertarik untuk lebih mengamatinya dengan teropong, tiba-tiba terasa guncangan hebat diikuti dentuman besar, dan massa cair itu melonjak ke atas diiringi keluarnya kolom-kolom abu. Tak lama bebatuan mulai dari sebesar kepala pun beterbangan ke segala arah hingga terlempar jauh ratusan meter ke belakang dua orang ini. Untung saja batu-batu terlempar ke kanan dan kiri keduanya sehingga mereka bisa selamat dari bahaya mengancam nyawa. Karena kejadian ini, Verbeek menganjurkan agar kawah aktif ini dihindari dengan penuh rasa hormat, khususnya jika gunung dalam periode aktif memasuki sela-sela masa tenang yang tak beraturan. Sebab, letusan eksplosif dan lemparan batu-batu bisa saja terjadi tiba-tiba.

Lava Pijar

Apakah Marapi pernah mengeluarkan guguran lava pijar seperti halnya Merapi di Jawa Tengah? Observasi langsung massa cair di kawah yang diamati Van Schelle disimpulkan sebagai singkapan lava pijar oleh Verbeek. Bahkan, Jan Freerk Hoekstra menyebut fenomena ini sebagai satu-satunya kejadian lava pijar di Sumatera yang diverifikasi secara langsung.

Asumsi Merapi pernah mengeluarkan lava pijar di masa lampau disinggung juga oleh Korthals. Dia menyebut sejumlah aliran lava Merapi dahulu kala pernah turun ke sebagian Agam sehingga bagian daerah yang dilalui itu tidak subur. Tidak jelas daerah mana yang dimaksud. Verbeek lebih rinci dalam mendeskripsikan hal ini. Meski aliran-aliran lava (lavastroom) ke lereng gunung sudah sangat lama tak terjadi lagi, masih cukup jelas tanda-tanda kejadian tersebut di masa lampau. Misalnya, aliran lava augietandesiet dulu pernah mencapat Batoe Beragoeng di tepi Singkarak, juga dibuktikan banyaknya batu berpori yang bertebaran di sekitaran. Menurut Verbeek juga, aliran lava bazalt dulu kala juga pernah turun dari kawah tertua Merapi terus ke Simabur, Belimbing bahkan hingga Pandjalangan, Di sungai Bangkawas dan daerah Sawah Keras tanda-tanda bebatuan dari lava tersebut juga terlihat jelas. Selain lavastroom yang sampai jauh ke bawah, Verbeek juga mengatakan lavabanken (singkapan bebatuan lava) dapat dilihat jelas di sekitaran puncak Parapati.

Banjir Lahar Dingin

Korthals menyebut kemungkinan batu-batu di puncak Marapi hasil letusan menggelinding ke bawah ketika terjadinya letusan sangat kecil. Dia pernah menggali tanah di sekitar kawasan Marapi tanpa menyebut lokasi persis. Hasilnya, di bagian paling atas sedalam 1 kaki tanah hitam biasa, lalu diikuti lapisan tanah liat coklat, kemudian tiga kaki lapisan breksi batu apung dan terakhir selapisan tanah liat coklat dengan serpihan-serpihan trasit dalam bebatuan konglomerat. Korthals menyimpulkan, formasi tanah seperti ini menunjukkan dinamisnya pertukaran material bawaan di sana dan dipastikan lava tak sampai ke bagian lokasi yang digalinya.

Verbeek juga tidak menyebut ada kejadian bencana lahar dingin dalam tulisannya. Istilah yang paling dekat dengan banjir lahar dingin dalam tulisan Verbeek adalah slikstroom (aliran lumpur), khususnya met brokken bezwaarde slikstroom (aliran lumpur berisi bebatuan). Namun, dia hanya menunjukkan bekas-bekas kejadian. Salah satu slikstroom yang berasal dari puncak Marapi dapat dilihat misalnya dekat Simabur, pada kali Loeboek Batang. Lalu, pada Batang Bangkawas hingga ke Belimbing. Tanda-tanda nyata dari slikstorm adalah banyaknya sebaran batuan besar khususnya batuan vulkanik pada aliran kali-kali di sekitaran gunung. Tidak disebut adanya kejadian signifikan bencana lahar dingin atau galodo bercampur lumpur dari Marapi bisa jadi karena tidak ada catatan kejadian serius dengan korban jiwa yang diketahui oleh Verbeek, atau barangkali memang ada banjir lahar dingin signifikan tapi hanya di sekitaran kali-kali dan tak membekas dalam memori masyarakat karena tiada atau minim korban. Tentu menarik untuk diketahui apakah sekitaran kali-kali yang memang biasa jadi aliran slikstroom dari puncak Marapi memang dihindari sebagai tempat bermukim oleh penduduk di masa lampau, berbeda dengan masa sekarang?

Pasar Kaum Pribumi di Puncak Gunung

Bagikan

Opini lainnya
Terkini