Pembebasan Tanah di Awal Konstruksi Kereta Api Sumatera Barat

Foto Novelia Musda
×

Pembebasan Tanah di Awal Konstruksi Kereta Api Sumatera Barat

Bagikan opini

Komisi pembebasan lahan kereta api terdiri dari controleur pada afdeeling bersangkutan, kepala seksi jalur kereta api terkait dan dua kepala pribumi yang melakukan taksiran.

Controleur adalah pejabat bangsa Eropa yang membawahi onderafdeeling (setingkat beberapa kecamatan), yang jumlahnya bervariasi tergantung ukuran afdeeling (setara kabupaten/ kota sekarang). Controleur ini membawahi sejumlah kepala pribumi yang disebut kepala laras (larashoofd) (laras setara kecamatan), yang terakhir ini kemudian pada gilirannya mengepalai sejumlah penghulu kepala, pemimpin formal tiap nagari dalam adminstrasi pemerintahan ala Belanda di gouvernement Sumatra’s Westkust.

Tidak jelas dari deskripsi Delprat, apakah hanya empat orang itu saja anggota komisi, atau ada juga anggota-anggota lainnya untuk tugas di lapangan, atau apakah mereka mendapat fee dan berapa nilainya. Yang jelas tugas komisi ini amat berat.

Komisi ini harus melakukan sosialisasi kepada para kepala dan penduduk pribumi di lokasi yang terdampak pembebasan, dengan cara mengadakan pertemuan demi pertemuan yang kalau perlu dilakukan tiap hari.

Selain musyawarah, mereka perlu melakukan pendekatan terus menerus, memberikan puji-pujian, bernegosiasi, karena sifat orang Minang yang berwatak dagang tentu tidak akan begitu saja menyerahkan lahan secara sukarela.

Kadang-kadang digunakan juga gertakan jika komisi sudah habis kesabaran. Kerja komisi pun tidak mudah karena mereka harus berurusan dengan banyak orang. Tiap petak tanah, tiap batang kelapa, tiap pohon pisang bahkan tiap tanaman perdu bisa dimiliki orang berbeda. Masing-masing memiliki taksiran berbeda. Di Kacang, tiap pohon jeruk harus diganti 70 gulden; demikian pun tembakau yang ditanam di kaki bukit sisian Danau Singkarak, harus ditebus mahal. Ada juga klaim-klaim pemilik yang dibuat tanpa dasar, sehingga komisi harus banyak bersabar. Misalnya, ada yang meminta ganti 20 ribu gulden untuk lahan yang taksiran nilainya hanya di kisaran 500 gulden. Kadang-kadang masyarakat pun diprovokasi oleh para pokrol yang senantiasa mondar-mandir, yang membuat komisi tambah kocar-kacir.

Kesuksesan tugas komisi tersebut bervariasi di tiap daerah. Pembebasan lahan sekitaran Kayu Tanam, Solok dan Silungkang boleh dikatakan sangat lancar, karena sosialisasi sebelumnya sudah sangat memadai oleh komisi.

Di tempat-tempat lain, setelah mengadakan pertemuan-pertemuan yang alot, akhirnya masyarakat sepakat, dimulai dari satu-dua orang akhirnya diikuti yang lain. Bahkan kadang mereka setuju saja tanpa bertanya berapa nilai kompensasi yang akan diterima. Namun, ada juga beberapa kasus harus diselesaikan dengan hukum, yakni di Padang dan afdeeling Batipuh.

Orang-orang yang disebut Delprat keras kepala tak mau mundur sedikit pun, sehingga maju ke persidangan, yang akhirnya kalah dan bahkan harus mengeluarkan biaya jauh lebih besar dari nilai kecil kompensasi yang terpaksa mereka terima. Sampai di sini, tugas komisi pembebasan lahan pun selesai.

Tugas dilanjutkan oleh aparat pemerintahan sipil yang akan bekerja keras melakukan penyelidikan berbagai persoalan yang muncul terkait siapa pemilik sebenarnya dari persil-persil tanah yang telah dibayarkan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini