Sebab, justru menurut data KESDM-lah yang tertuang dalam 'Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022', menunjukkan bahwa impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan sebesar 12,6% dalam periode 2019-2022.
Pada tahun 2022 impor BBM sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl) dibandingkan tahun 2019 yang tercatat hanya sejumlah 24,73 juta kl. Artinya, terdapat kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl yang menguras devisa negara, hanya pada tahun 2020 impor menurun menjadi 19,93 juta kl.
Sedangkan, mengacu data BPS sampai bulan Maret 2024 impor migas dan BBM telah mencapai 4,66 juta kl dan meningkat dibanding bulan Februari 2024 yang sejumlah 4,29 juta kl. Jika angka ini konstan diperkirakan impor migas dan BBM pada bulan Juni 2024 bisa mencapai kurang lebih 15 juta kl.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Indonesia sejak tahun 2019-2023 juga mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2019, nilainya mencapai US$21.885,3 juta atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah mencapai US$40.416,4 juta yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750).
Artinya terdapat kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan setiap adanya peningkatan jumlah impor migas yang akan menggerus devisa negara dan lebih banyak Rupiah yang harus disediakan. Sementara itu, Indonesia juga melakukan kegiatan ekspor migas yang pada tahun 2019 tercatat senilai US$11.789,3 juta atau setara dengan Rp168,59 triliun, sedangkan pada tahun 2022 senilai US$15.998,2 juta atau setara dengan Rp251,17 triliun.
Apabila menggunakan data kebutuhan konsumsi migas yang disampaikan oleh KESDM terhadap adanya kekurangan (gap) produksi di dalam negeri, maka izin impor yang harus diberikan adalah sejumlah 700.000 bph.Jumlah impor migas ini jika disetarakan (ekuivalensi) dengan berat jenis kilogram (kg) adalah 95.200 ton (1 barel = 136 kg) atau sebesar 9,52 juta kl. Apabila harga keekonomian migas dunia sejumlah US$50-70/barel diperlukan dana Rp95,3-104,96 triliun saja (kurs US$1=Rp14.300-15.750).
Lalu, mengacu pada data BPS mengapa jumlah impor migas dan produk olahan kilang (BBM) bisa mencapai Rp312 96 triliun pada tahun 2019 dan Rp636,56 triliun pada tahun 2022? Kemanakah selisih lebih kuota jumlah barel/kilogram dan nilai impor migas ini dialirkan dan apakah tercatat didalam penerimaan negara?
Artinya, ada kebijakan impor migas melebihi kuota 700.000 bph yang ditetapkan oleh KESDM atau sejumlah kurang lebih Rp217,66 triliun hingga Rp531,6 triliun pada saat memberikan izin kepada para importir tahun 2019-2022, yaitu sebesar 15,21 juta kl hingga 18,34 juta kl.
Siapakah yang harus bertanggungjawab atas kelebihan importasi migas diluar batas kewajaran serta membuat defisit transaksi berjalan semakin melebar dan APBN sekarat? Apabila permasalahan ini terus dibiarkan, maka mata uang Rupiah akan terus mengalami depresiasi semakin besar nomimalnya.