Menari di Atas Bara, Seni Public Relations dalam Mengatasi Krisis Komunikasi

Foto Nofri Andeska Putra
×

Menari di Atas Bara, Seni Public Relations dalam Mengatasi Krisis Komunikasi

Bagikan opini

Dalam menyampaikan pesan organisasi, PR modern perlu menguasai "Storytelling Fraktal". Pendekatan ini melihat cerita organisasi seperti fraktal dalam matematika, memiliki pola yang konsisten namun bisa dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang masing-masing bisa berdiri sendiri. Ini memungkinkan PR untuk menciptakan narasi yang koheren namun fleksibel, bisa diadaptasi untuk berbagai platform dan audiens.

Griffin (2008) menekankan pentingnya konsistensi dalam membangun reputasi jangka panjang. Storytelling Fraktal memungkinkan PR untuk memenuhi kebutuhan ini sambil tetap fleksibel dalam menghadapi dinamika komunikasi modern. Dengan menciptakan "story universe" organisasi, di mana setiap bagian cerita (misal, sejarah perusahaan, visi misi, produk, CSR) bisa menjadi entry point yang menarik bagi audiens yang berbeda-beda, PR dapat memastikan konsistensi pesan sambil tetap relevan dengan berbagai segmen publik.

Contoh yang baik dari penerapan Storytelling Fraktal adalah kampanye "Real Beauty" dari Dove. Kampanye ini memiliki pesan inti yang konsisten tentang kecantikan yang inklusif, namun bisa diadaptasi ke berbagai format dan platform dari iklan TV yang viral, kampanye media sosial, hingga program pendidikan di sekolah-sekolah. Setiap elemen kampanye bisa berdiri sendiri, namun juga berkontribusi pada narasi besar yang membangun reputasi Dove sebagai merek yang mendukung kecantikan autentik.

Terakhir, namun tak kalah penting, PR modern harus mampu menciptakan "Literasi Krisis Kolektif" dalam organisasi. Ini berarti mengubah seluruh organisasi menjadi tim manajemen krisis yang efektif, menanamkan pemahaman tentang komunikasi krisis ke seluruh lapisan organisasi, dari CEO hingga staf frontline. Chatra dan Nasrullah (2008) menekankan bahwa manajemen krisis yang efektif membutuhkan keterlibatan seluruh elemen organisasi, bukan hanya tim PR.

Program pelatihan berkelanjutan tentang komunikasi krisis untuk seluruh karyawan, simulasi krisis regular yang melibatkan berbagai departemen, dan integrasi manajemen reputasi ke dalam KPI seluruh level manajemen adalah langkah-langkah konkret menuju literasi krisis kolektif ini. Dengan pendekatan ini, setiap anggota organisasi menjadi "duta reputasi" yang mampu mendeteksi potensi krisis dan berkontribusi dalam penanganannya.

Contoh yang baik dari penerapan Literasi Krisis Kolektif adalah pendekatan Toyota dalam menangani krisis recall besar-besaran pada tahun 2009-2010. Meskipun krisis ini berdampak signifikan pada reputasi perusahaan, Toyota berhasil memulihkan kepercayaan publik dengan cepat. Salah satu faktor kuncinya adalah budaya perusahaan yang menekankan kualitas dan tanggung jawab di semua level, yang memungkinkan respons yang cepat dan terkoordinasi terhadap krisis.

Dalam menghadapi kompleksitas dan dinamika komunikasi krisis di era digital, PR harus terus berinovasi dan beradaptasi. PR modern harus tetap menghargai esensi dari profesinya yaitu membangun dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan publiknya. Seperti penari di atas bara, PR modern harus lincah, berani, namun tetap presisi dalam setiap langkahnya. Dengan pendekatan yang holistik, adaptif, dan etis, PR tidak hanya mampu mengatasi krisis, tapi juga mentransformasi organisasi menjadi entitas yang lebih tangguh, transparan, dan terpercaya di era digital yang penuh tantangan ini. (*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini