Menyoal Intervensi BI Menguatkan Nilai Tukar

Foto Defiyan Cori
×

Menyoal Intervensi BI Menguatkan Nilai Tukar

Bagikan opini

Pasca reformasi 1998 peran dan fungsi BI sebagai bank sentral mengalami perubahan cukup drastis, termasuk dalam hal sistem perbankan. Dalam pengaturan lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar peran dan fungsi diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 yang merupakan perubahan atas UU No. 10/1998 Tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Law no. 24.1999 dated May 17, 1999 Re the Flow of Foreign Exchange and the Exchange Rate System; Law no. 10/1998 dated November 10, 1998 Re Amendment to Law no. 7/1992 on the Banking System). Meskipun, BI merupakan lembaga mandiri dari pengaruh (independen) namun dalam UU tersebut dinyatakan secara tegas peran dan fungsi BI dalam mengelola lalu lintas devisa untuk menstabillkan nilai tukar Rupiah.

Bahkan, kecenderungan membaiknya posisi cadangan devisa (cadev) negara menurut data Bank Indonesia (BI) pada akhir Mei 2024 tercatat sejumlah US$ 139,0 miliar atau setara Rp2.237,9 triliun meningkat Rp45,1 triliun dibandingkan akhir April 2024 yang berjumlah US$136,2 miliar atau sejumlah Rp2.192,8 triliun (US$1=Rp16.100). Bahkan, posisi cadev dibulan Juni 2024 mencapai US$140 miliar atau setara dengan Rp2.254 triliun yang berarti BI sangat bisa melakukan intervensi menguatkan nilai tukar Rupiah. Pertanyaanya, mengapa Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia tak melakukannya!? Padahal, sebagai otoritas moneter peran dan fungsi BI tidak hanya mengendalikan jumlah uang beredar (JUB) ditengah masyarakat serta tingkat inflasi saja melainkan juga mengelola lalu lintas devisa kaitannya dengan sistem devisa bebas yang saat ini dijalankan.

Setidaknya, intervensi itu dapat dilakukan oleh BI sesuai kewenangan yang dimilikinya termaktub pada UU 24/99 Bab II mengenai Lalu Lintas Devisa. Pada Bab II ini sangat jelas diatur mengenai ketentuan devisa yang bebas dimiliki oleh penduduk dan aturan penggunaannya. Mengacu perkembangan data defisit transaksi berjalan yang berjumlah US$2,2 miliar pada kuartal I/2024 (terbesar), maka seharusnya BI melalui otoritas Gubernurnya Perry Warjiyo melakukan intervensi di pasar uang. Alasannya, tentu saja karena cadangan devisa BI tersedia cukup baik dalam melakukan langkah interventif yang dibenarkan UU 24/1999 termaktub dalam Bab III mengenai Sistem Nilai Tukar. Tapi, Perry Warjiyo seolah membiarkan kurs Rupiah terdepresiasi sejak Tahun 2022 yang nilainya masih sekitar Rp15.260-15.580 menjadi Rp16.500 lebih pada bulan Juni 2024 atau naik sejumlah Rp1.000 terhadap kurs US dollar.

Ada apakah gerangan dengan Gubernur BI Perry Warjiyo sehingga tidak menggunakan kewenangannya sebagai otoritas moneter dan komandan bank sentral? Apabila menilik sejarah bank sentral di Amerika Serikat (United State of America/USA pada abad ke-18 ada sedikit kemiripan tanggapan otoritas terkait pasar uang ini. Pada tahun 1829 Andrew Jackson dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-7. Dan, sewaktu menjabat didampingi oleh John Caldwell Calhoun (1829-1832) dan Martin Van Buren (1832-1837) sebagai wakil presiden (dua orang Wapres secara periodik). Kemenangannya mencerminkan kemenangan rakyat pada umumnya karena Andrew Jackson adalah tumpuan rasa dan harapan masyarakat kala itu, tak berbeda dengan posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat terpilih pada tahun 2014.

Presiden ke-7 USA inilah yang pernah membubarkan bank sentral USA pertama, yaitu the Bank of the US karena Presidennya (Gubernur bank sentral) bermain-main dalam pasar uang atau tidak mengendalikan kondisi moneter. Bank of the US setelah dibubarkan oleh Jackson akibat pertentangan nya dengan Nicholas Biddle the President of B.U.S atau perselisihan antar anggota parlemen USA, Demokrat dan Republik yang memegang kendali bank sentral (persis posisi Gubernur BI era reformasi) lalu lahirlah The FED tahun 1913 bank sentral yang dimiliki oleh Amerika Serikat. The FED didirikan oleh Federal Reserve Act yang ditandatangani oleh Presiden USA saat itu, Woodrow Wilson. Tentulah Perry Warjiyo takkan memilih jalan ini karena pengangkatannya sebagai Gubernur BI juga atas dukungan dan persetujuan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang notabene sebagian besar para pengusaha.

Ditengah defisit transaksi berjalan yang semakin melebar akibat kenaikan impor migas dan BBM untuk mengatasi kenaikan konsumsi justru seharusnya kewenangan Gubernur BI yang dijamin UU 24/1999 mampu mengintervensinya. Sebab, devisa yang dipakai untuk mengimpor migas dan BBM sejumlah 24,74 juta Kilo Liter (kl) hingga 40 juta kl hanya mengeluarkan sekitar Rp260-324 triliun lebih saja dan tidak akan menguras cadangan devisa negara. Jangan sampai pembiaran Perry Warjiyo selaku Gubernur BI diinterpretasikan publik sebagai cara tawar-menawar yang bertendensi politis sehingga menjadi beban fiskal dan moneter pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Oleh karena itu, lakukanlah intervensi secara cepat dan tepat, jangan sampai terlambat!

Bagikan

Opini lainnya
Terkini