Problemnya, sejak 1980 sampai sekarang, Iran diembargo Amerika dan sekutunya. Seluruh kekayaan Iran di bebagai perbankan dunia dibekukan. Tak hanya itu, Iran juga kesulitan untuk mengimpor bahan baku dan suku cadang untuk industri dan teknologi.
Termasuk untuk pengembangan nuklir, perlengkapan perang, pertahanan dan dukungan peralatan intelijen.
Walau kaya dengan sumber daya alam dan potensi unggul manusianya, karena embargo, Iran bangkit tertatih tatih. Capaiannya, belumlah sampai menjadi negara maju. Apalagi secara ekonomi, walau tak jatuh sebagai negara miskin, kesejahteraan bangsa ini masih jauh dari harapan.
Apalagi politik domestik Iran pasca revolusi. Perebutan kekuasaan pemerintahan, terus menerus dipenuhi pergulatan sengit dua kubu; konservatif dan progresif/ moderat. Pemerintahan sehari hari silih berganti antara konservatif dan progresif, namun otoritas puncak kekuasaan Iran tetap di bawah dominasi penuh dewan imamah yang dipimpin para ayatullah pemuncak otoritas keagamaan yang konservatif.
Konservatisme kaku kekuasaan Iran mulai melelahkan. Rakyat Iran pun sering melakukan perlawanan. Kematian Mahsa Amini September 2020 adalah contoh lain yang mengerikan dan amat disayangkan. Mahsa Amini, perempuan 20 tahunan. Ditangkap polisi moral karena tak berjilbab di jalanan. Terbunuh dalam tahanan. Ini menunjukkan, konservatisme kekuasaan makin menua. Dunia terus berubah, Iran pun mestinya beradaptasi dengan perubahan. Jika tetap bertahan dengan konservatisme kaku itu, cita cita revolusi Iran, sulit diwujudkan.
Di saat yang sama, Israel melakukan langkah tak terduga. Di tengah tekanan politik dan kemarahan dunia karena membantai 40 ribuan warga Gaza Palestina dan vonis Mahkamah Internasional pada Bibi Netanyahu sebagai penjahat perang, Israel bermanuver. Haniyeh berhasil dihabisi. Iran dipermalukan. Isu pembantaian di Gaza teralihkan.Seminggu sebelum kematian Haniyeh, Pemerintah China melakukan tindakan simpatik. Negara Tirai Bambu ini mempertemukan faksi faksi yang berseteru di Palestina. Puncaknya, deklarasi Pemerintahan Rekonsiliasi yang ditandatangani Hammas, Fatah dan 12 faksi lainnya. Keempatbelas faksi Palestina ini memuji, mengapresiasi dan berterimakasih sekali pada China.
Kemana Pemerintahan kita. Apakah ikut andil? Tidak sama sekali. Dalam pertemuan di Beijing itu, Palestina mengapresiasi dan berterimakasih kepada negara negara yang punya andil serius terjadinya rekonsiliasi antar faksi. Untuk pemerintahan kita, sekadar pernyataan _courtesy_ pun tak tak terjadi.
Rezim kita saat ini memang rezim aneh. Nir literasi. Memalukan. Tidak paham sejarah bahwasanya pernyataan awal dukungan kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Mufti Palestina Syeikh Muhammad Amin Al Husaini. Kemudian didukung Mesir, India dan negara lainnya.
Rezim ini lagi sibuk mengurus keluarga untuk terus berkuasa. Anak, menantu, ajudan dan bahkan cucu pun sedang diupayakan. Rakyat Indonesia boleh terus memberi dukungan untuk Palestina dengan segenap daya. Kita patuhi konstitusi untuk menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi. Bodo amatlah dengan rezim ini.