Di Alahan Panjang ketika hari pasar, ratusan orang, terbanyak dari Aie Dingin, menyerbu Bivak dan gudang kopi Belanda. Sebanyak 10 orang rakyat tewas ditembus peluru, satu tentara Belanda luka.
“Bivak Alahan Padjang kemarin lusa diserang satu sekelompok berjumlah 100 orang. Itu musuh kehilangan 10 orang terbunuh dan berhasil dipukul mundur. Di pihak kita, satu tentara terluka ringan.” Demikian berita telegram yang disiarkan Provinciale Drentsche en Asser Courant, edisi 07-07-1908. Koran ini terbit di Assen Belanda.
“…di Alahan Pandjang diserang oleh gerombolan yang terdiri dari seratus orang kemarin lusa. Serangan itu berhasil digagalkan; musuh menderita sepuluh kematian dan di pihak kami seorang fusilier (prajurit) terluka ringan.” (Dagblad van Noord-Brabant, 07-07-1908,)
Ini serangan terbesar dan keempat, terbanyak dari penduduk Aie Dingin. Mereke meringsek menyerbu gudang kopi sekitar pukul 08.00 pagi. Suasana panik, pasar pun bubar seketika.
“Tembakan dilancarkan dengan sekuat tenaga ke arah penyerang, mengakibatkan 10 korban jiwa. Jumlah korban luka tidak diketahui, sisanya melarikan diri. Salah satu tentara mengalami luka ringan di lengan atas. Yang kenal Alahan Pandjang pasti tahu kalau rumah pengawas, bivak, pasar dan rumah kampung semuanya berdekatan. Jadi bisa dibayangkan kebingunan apa yang timbul akibat penyerangan tersebut. Beruntung pengendali mampu menghentikannya tepat waktu, karena sebagian besar yang datang sebelum kerusuhan bukanlah perusuh, melainkan masyarakat yang datang dari pasar dan sedang dalam perjalanan pulang. Seandainya pejabat ini tidak turun tangan, ratusan orang yang tidak bersalah akan tewas.” (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1908)
“Beberapa lama kemudian, seperti diberitakan koran ini, “Negri Ajerdingin yang bersalah dengan sungguh-sungguh meminta maaf dengan menyembelih seekor carabao (kerbau) dan menerima syarat yang ditetapkan.” Perlawanan rakyat atas pajak di Kawasan Alahan Panjang ternyata mendahului Perang Kamang dan Perang Manggopoh yang disebut Perang Belasting yang terkenal itu dan terjadi pada 15 Juni 1908 itu, sedang di Alahan Panjang 6 Juni 1908. Puncak perlawanan rakyat memang terjadi pada dua nagari Agam.
Serangan di Alahan Panjang, menganggu kegiatan Belanda di kawasan tersebut. Pemulihan harus segera dilaksanakan, agar kopi dan emas bisa segera diangkut ke Padang. Emas ada di Sariak dan kawasan Sungai Pagu yang punya danau purba dan sudah kering. Juga di Abai. Perlawanan bukan hanya fisik, tapi sejak 1900 terjadi gerakan kaum intelektual berpendidikan sekolah Belanda dan para ulama serta ribuan santri yang luar biasa di daerah ini. Perlawanan memantul dengan tanpa takut-takut melalui tulisan di puluhan media cetak.
Serangan pada Belanda di Alahan Panjang disebabkan rakyat Angek sudah muak, emas diambilnya, kopi juga, awak diazabnya pula, sekarang pajak dipungut tiap kepala. Harta pusaka juga dipajaki. Hidup sesulit sekarang, Belanda tak menenggang rakyat. Maka diserbulah bivak. Ini sebenarnya protes kelima kalinya dilakukan rakyat di kawasan Alahan Panjang dalam 10 hari belakangan. Apalagi kala itu, mereka melihat mobil dan rombongan Belanda banyak lewat hendak mencari emas ke Tambang Sarik dan Tambang Muaro Labuah serta Abai. Tak masalah ambil benarlah, namun pajak jangan. Seorang haji mengomandoi serbuan itu. Ratusan orang tersebut membawa golok, kapak, linggis dan kayu. Serbuan sporadis itulah yang dibalas dengan tembakan yang membabi buta pula. Beberapa kemudian situasi mencekam, kantor Belanda dan sekolah rakyat tutup. Pasar lengang. Patroli dipergiat, tentara dikirim ke Alahan Panjang dari Solok. Jaksa, juru tulis, pejabat Belanda lain serta pejabat-pejabat Belanda yang pribumi diungsikan. Pada bulan- bulan ini perlawanan rakyat pada Belanda dipicu belasting meningkat. Tensi Minangkabau naik. Di Batipuah Belanda menembak pengawal penghulu, di Pitalah, Bungo Tanjuang, rakyat melawan. Di Lintau seorang pejabat Belanda, Bastiaans, tewas. Di Sicincin, Lubuak Aluang, Pariaman. Apalagi di Kamang, apalagi di Manggopoh. Basosoh. Korban pribumi terbanyak di Kamang, sekitar 100 orang pejuang, sahid. Pemimpinnya Haji Abdul Manan, juga sahid. Di Manggopoh, Muhammad Rasyid Magek dan istrinya Siti (Manggopoh) serta pejuang lainnya menyerbu bivak. Prajurit Belanda bersimbah darah, tewas. Perang Belasting di Minangkabau memberi makna rakyat jika ditindas akan melawan. Perang ini, mengubah persepsi Minangkabau secara menyeluruh atas arti perjuangan: sudah saatnya berjuang di dunia pendidikan. Pergerakan dunia pendidikan itu, agak terhenti oleh dua peristiwa kemudian: gampo rayo Padang Panjang dan Pemberontakan Komunis Silungkang 1927. Tapi, menuju pendidikan yang lebih baik sudah dimulai sejak 1840-an seusai Perang Paderi. Upaya itu didukung oleh ekonomi sebagian rakyat yang baik. Ini lantaran, kopi dan emas yang dijual ke pantai Timur, bukan ke Barat, sebab di sana ada Padang, markas Belanda. Timur melalui jalur-jalur sungai sampailah ke Singapura.
Tak percaya bahwa urang awak saban hari ke Singapura di zaman lampau? Ini buktinya:
Minang-Singapora:Djalan jang paling dekat dan ongkos jang paling moerah toeroetlah djalan, Moera Kalaban, Sidjoendjoeng, Taloek (Kwantan) Rengat Singapora.
“Tiap-tiap hari Djoemahat perahoe berangkat dari Sidjoendjoeng ke Teloek , djalan tjoema empat hari sadja, ongkos tjoema f 1.50 satoe orang. Di Teloek ada sedia kita poenja kapal, Sri Kwantan.
Ini sebagian dari iklan panjang untuk perjalanan Minang ke Singapura yang dimuat di salah satu edisi koran Soera Ra’jat 1914. Pada 1800 dan 1900, perjalanan ke sana bukanlah hal aneh bagi penduduk daerah ini. Mereka bukan berdarmawisata, melainkan berdagang, diantaranya kopi dan emas. Jadi, kalau saya kemarin ke Singapura, tak usah banyak lagaklah.*