Tumpang tindih tupoksi dan kewenangan kementerian negara ini, tidak saja berdampak pada tingkat kinerja dan atau keberhasilan pencapaian visi-misi Presiden juga berakibat meningkatkan kebutuhan anggaran yang berpengaruh pada keuangan negara. Alokasi anggaran kepada masing-masing kementerian negara menjadi dua kali lipat (bahkan lebih) jumlahnya atas kebijakan program yang sejenis atau beririsan. Arah dan tujuan pembangunan bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran agar tercapai kesejahteraan rakyat menjadi sia-sia apabila data dimasing-masing kementerian juga berbeda-beda dan sesuai kepentingan masing-masing. Anggaran negara menjadi mubazir dan terbuang percuma apalagi jika pembiayaan bersumber dari utang.
Atas dasar inilah, hak prerogatif Presiden harus ditempatkan secara rasional, proporsional dan konstitusional menjauhkan diri dari politik transaksional untuk memenuhi jumlah kementerian negara yang maksimal. Oleh karena itu, "belajar" pada pengalaman penyusunan personalia kabinet diera pemerintahan Presiden Soeharto patut diperhatikan serius, dan dipertimbangkan secara matang penuh kearifan-kebijaksanaan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Lalu, kementerian negara mana saja yang seharusnya digabung? Tentu saja pembahasannya tidak sederhana dan sungguh masuk akal jika disesuaikan dengan program unggulan dan prioritas pembangunan yang akan dijalankan.Salah satu contoh, misalnya program makan bergizi gratis yang tidak perlu lagi membentuk lembaga baru, tapi bisa menggabungkan Kemensos dan Kemenkes untuk mengoptimalkan koordinasi dengan Kemenristekdikti. Disamping itu, Kementerian BUMN, Kemenkop UKM untuk memudakan implementasi konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) juga dapat digabung, sama halnya dengan Kemenperin dan Kemendag digabung menjadi Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Last but not least, selayaknyalah koordinasi perencanaan anggaran beserta pengendalian seluruh program prioritas dan unggulan pembangunan diserahkan kepada satu kementerian, yaitu Kementerian PPN/Bappenas. Jadi, tidak ada alasan bagi Presiden terpilih melakukan politik transaksional dengan elite berbagai partai politik untuk memilih para Menteri sebagai pembantunya karena telah dijamin secara konstitusional oleh UUD 1945!