Menemukan Manusia yang Punya Hati Nurani

Foto Sastri Bakry
×

Menemukan Manusia yang Punya Hati Nurani

Bagikan opini

Menemukan manusia yang punya hati nurani zaman sekarang sungguh susah. Seperti mencari jarum di dalam jerami. Kebanyakan dari kita melihat kepentingan. Bisa kepentingan uang, modal, jabatan, kegiatan, proyek, pertemanan, anak, saudara bahkan hanya sekedar ikutan nempel. Apakah yang membuat kita seolah tak bisa melihat, tak bisa mendengar, tak bisa merasa, tak bisa mencium bau busuk hingga tak bisa bicara secara mandiri? Jika bukan karena kepentingan?

Kemarahan yang Meledak

Beberapa waktu lalu, 10 penyair hebat Sumatra Barat membaca puisi Merdeka Berkarya pada hari kemerdekaan di sebuah cafe di Kota Padang. Saya menangkap kemarahan tidak hanya di ruang publik seperti yang terjadi begitu intens akhir- akhir ini. Tetapi juga di ruang kecil yang dihadiri sekitar 50 orang sastrawan, seniman dan wartawan. Para penyair mengungkapkan kemarahan yang meledak - meledak dengan retorika dan dinamika yang fasih memakai ragam bahasa sastra . Kata-kata konotatif dalam gaya bahasa parelelisme banyak menggunakan perulangan bunyi untuk penegasan dengan artikulasi yang jelas dan power yang luar biasa. Mereka menggugat ketidakadilan, kerakusan korupsi, keganasan kolusi dan jahatnya nepotisme para begundal yang menutup mata dengan situasi politik yang terjadi, seolah tak punya nurani.

Dimana Badan Musyawarah DPR RI?

Biasanya DPR RI ( Baleg/ Panja) menyusun undang- undang memerlukan proses yang lama. Seringkali tersendat karena kepentingan dari anggota DPR RI sendiri. Bisa berdalih bahwa mekanisme penyusunan aturan harus masuk ke agenda prioritas program legislasi nasional terlebih dahulu. Atau bahkan jika sudah masuk agenda tak juga selesai, akan ada dalih, anggota Dewan lagi reses sesuai agenda Badan Musyawarah yang sudah dirancang. Namun tidak demikian halnya dengan revisi UU Pilkada. Sungguh terjadi proses legislasi yang secepat kilat dengan seluncuran politik Baleg DPR RI bersama Mendagri dan Menkum HAM.

UU Pilkada yang tidak masuk dalam RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2024, mendadak bisa dibahas. Sehari pasca putusan MK 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan, Baleg DPR RI gelar rapat super cepat.

Itulah awal kericuhan ini karena DPR RI yang demikian cepat merespon Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Bagi sebagian orang keputusan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. Dengan menetapkan ambang batas yang jelas, MK memberikan panduan yang lebih pasti bagi partai politik meski tidak memenuhi ambang batas. Namun bagi yang lain keputusan MK adalah bentuk penghambatan.

Karena itu DPR RI dan pemerintah sangat reaktif bahkan agresif atas putusan MK 60 dan 70 tersebut. Berbeda sikap dengan saat putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden/ wakil presiden dibacakan. DPR RI bersama pemerintah pasif, namun memberi ruang bagi KPU untuk proaktif. KPU merevisi PKPU demi memuluskan keluarga sang penguasa maju di Pilpres. Cantik sekali mainnya karena bersama- sama, kompak dan solid sehingga seolah-olah sebuah kebenaran yang tak tergoyahkan. Hati kecil kita tahu, semua proses itu telah menabrak hukum, etika, moral, asas kepantasan, dan kepatutan. Tetapi kepada siapa hati ini akan dipertaruhkan?

Berbeda dengan keputusan MK sekarang, Baleg DPR RI bersama pemerintah memaksa melakukan revisi UU Pilkada. Anggota DPR RI yang tergabung dalam KIM Plus membabi buta merevisi UU Pilkada tanpa memedomani putusan MK. Mereka menolak putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai batas syarat usia minimal seseorang maju sebagai calon kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini