Tapi di negara berkembang rakyat tidak terlalu mementingkan politik, mereka fokus mencari nafkah buat bisa hidup layak, karena itu mereka pemaaf dan kadang juga pelupa.
Bagi mereka politik masih dianggap tidak terlalu penting karena tidak berpengaruh langsung terhadap perubahan kehidupannya. Ada atau tak ada pemilu, rakyat yang berada pada garis kemiskinan merasa bahwa nasibnya toh akan seperti seperti itu saja. Kadang mereka lebih memilih jalan pintas. Lebih baik terima hadiah dari yang memberi bantuan tunai, sembako, atau semacamnya dari pada berangan angan untuk mendapatkan perbaikan kehidupannya dalam waktu panjang.
Mungkin dapat dikatakan, demokrasi berkualitas adalah demokrasi yang tidak lagi rakyat memikirkan kebutuhan perut dan mudah di iming iming, melainkan dengan analisa yang berdasar kecakapan.
Kini Presiden dan wakil presiden baru sudah di lantik. Para menteri dan wakil menteri serta berbagai jabatan penting lainnya juga sudah terisi, maka rakyat dipersilahlan kiprahnya, atau menunggu lakek tangannya "dengan ikhlas.
Selamat datang para pemimpin bangsa hasil proses politik dan demokrasi yang sah. Mudah-mudahan saja yang terpilih dan dipilih memang yang terbaik. Aamiin.
Namun bila kemudian, dalam perjalanannya ada yang merasa tidak puas, tunggu lima tahun lagi.Sejauh pengamatan saya, setidaknya selama 10 tahun terakhir, gelombang demi gelombang unjuk rasa yang terjadi dalam perjalanan sebuah rejim sama sekali tidak merubah apa apa.
Dewan yang menurut teori merupakan representasi rakyat hanya "membatu" dan tak bergeming dengan tuntutan apapun. Mereka seperti sudah satu paket yang menyatu dengan eksekutif. Ketika saya tanya kepada beberapa anggota DPR RI, mereka mengatakan, semua tergantung Ketua. Jadi ? Rakyat yang memilih anggota dewan pada akhirnya tak sanggup mewakili pemilihnya, tapi ketua partailah yang pada akhirnya menentukan. Untuk keselamatan diri anggota dewan tersebut, lebih baik ikut dengan apa yang dikatakan ketua, sementara itu, ketua itu sendiri juga banyak faktor yang membuat loyalitasnya demikian tinggi bahkan buta kepada eksekutif. Tidak usah ada kata untuk menjelaskan karena sudah menjadi pembicaraan umum dimana-mana.
Tapi, kenyataan memang harus diterima bahwa setidak tidaknya Indonesia sudah menjalankan demokrasi prosuderal, sudah berada pada jalan yang benar dengan adanya Pemilu 5 tahun sekali.
Soal tanggungjawab moral, soal menyelami hati nurani rakyat, soal lain lain yang berbentuk substansial, itu persoalan lain. Seingat saya, hanya satu kali saja hasrat dewan bersama eksekutif yang tidak terlaksana selama sepuluh tahun ini, yaitu ketika ada keinginan merubah Undang Undang Pilkada setelah keluarnya keputusan MK Menyangkut batas umur calon Kepala Daerah. Itu pun selentingan didengar dan dibaca, akibat eksekutif memberi sinyal untuk tidak melanjutkan pembahasannya, maka dewanpun mengamininya dan urung melanjutkan pembahasannya.