Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Foto Afriadi
×

Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Bagikan opini
Ilustrasi Perkembangan Media Massa di Indonesia, Media Sosial, dan Dinamika Postmodernisme dalam Kepentingan Politik dan Ekonomi

Hasil penelitian Masyarakat Telematika (Mastel) di Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 92,40 % berita hoaks diterima masyarakat melalui sosial media seperti facebook, twitter, instagram serta path. Sementara sebanyak 62,80% diterima melalui aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan sebanyak 34,90% melalui situs web. Sementara jika dilihat dari jenis informasinya, peringkat pertama jenis hoaks yang diterima masyarakat terdiri dari sebanyak 91,80% berupa hoaks masalah sosial dan politik, baik itu terkait Pilkada ataupun tentang pemerintah. Kedua, adalah masalah SARA sebanyak 88,60%, Kesehatan sebanyak 41,20%, makanan dan minuman sebanyak 32,60%, penipuan keuangan sebanyak 24,50%, Iptek sebanyak 23,70%, sisanya adalah jenis hoaks seperti berita duka, candaan, bencana alam, serta lalu lintas.

Ade Faulina dkk dalam jurnalnya (2021), mengatakan bahwa dengan pertumbuhan dan perkembangan pengguna media sosial di Indonesia telah memunculkan fenomena sekelompok buzzer yang awalnya merupakan bagian kegiatan pemasaran untuk meningkatkan penjualan hingga berkembang menjadi gerakan dalam mendorong wacana atau isu politik untuk membentuk opini publik.Sehingga batas antara fakta dan opini semakin kabur, karena semua orang bisa menjadi sumber informasi dan menciptakan narasi tertentu tanpa harus melalui proses verifikasi yang ketat dan berjenjang seperti di media massa tradisional

Postmodernisme dalam Media

Gerakan postmodernisme, yang menantang narasi-narasi besar dan kebenaran absolut, memberikan perspektif kritis terhadap bagaimana media massa dan media sosial membentuk realitas sosial. Dalam konteks postmodernisme, media tidak lagi dilihat sebagai penyampai kebenaran objektif, tetapi sebagai alat yang merefleksikan berbagai versi realitas yang bersaing.

Di media sosial sendiri, masyarakat sering kali lebih tertarik pada "kebenaran emosional" daripada "kebenaran faktual". Hoaks dan teori konspirasi yang disebarluaskan di media sosial sering kali lebih mudah diterima karena sesuai dengan keyakinan emosional atau politik seseorang, meskipun informasi tersebut tidak memiliki dasar faktual yang kuat. Narasi-narasi alternatif sering kali muncul dan menantang narasi dominan yang disampaikan oleh media massa. Media sosial memungkinkan siapa saja untuk menjadi jurnalis dan menyampaikan versi realitas mereka sendiri. Namun, hal ini juga membuka peluang bagi munculnya informasi yang tidak akurat atau manipulatif, yang kemudian dipercayai oleh masyarakat sebagai kebenaran.

Fenomena ini juga terlihat dalam cara masyarakat Indonesia menerima informasi. Banyak dari mereka lebih mempercayai konten di media sosial yang sesuai dengan keyakinan pribadinya daripada berita yang disajikan oleh media massa tradisional. Dalam situasi ini, kebenaran menjadi subjektif, dan narasi-narasi dominan yang dibentuk oleh media massa dapat dengan mudah ditantang dan diubah oleh narasi-narasi alternatif di media sosial.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini