Penerapan Ragam Hias Budaya Minangkabau dalam Pembelajaran Seni Rupa di Madrasah

Foto Elisa Febriyanti, M.Si
×

Penerapan Ragam Hias Budaya Minangkabau dalam Pembelajaran Seni Rupa di Madrasah

Bagikan opini
Ilustrasi Penerapan Ragam Hias Budaya Minangkabau dalam Pembelajaran Seni Rupa di Madrasah

Beragam teknik yang dipilih dalam menggambar corak motif hias ini menentukan keindahan dari sebuah karya. Nilai estetika dalam sebuah karya seni rupa ragam hias Minangkabau menggambarkan ciri khas tersendiri terhadap orang yang memandangnya.

Penyusunan teknik pembelajaran yang sesuai akan menunjang berjalannya penerapan nilai-nilai budaya lokal kepada siswa, baik secara langsung mapun tak langsung.

Dalam hal ini, pembelajaran secara langsung yang diterapkan yaitu dengan mengamati motif hias Minang yang ada, lalu dibuatkan sketsa terlebih dahulu pada media kertas sebelum dipindahkan pada media kain/ tekstil.

Siswa sangat antusias dengan adanya pembelajaran langsung ini, karena mereka mendapatkan pengalaman dalam membuat gambar hias. Dari segi warna, ukuran dan tekstur gambar hias sangat menentukan kreativitas seseorang. Gubahan bentuk yang dibuat sangat aplikatif diterapkan nantinya, terutama pada media kain/ tekstil.

Corak yang imajinatif akan sangat membantu dalam pembuatan motif hias di media gambar. Terlebih lagi, karena terdapat berbagai macam model ragam hias Minangkabau, baik itu ragam hias flora, fauna dan geometris.

Penerapan pembelajaran secara tak langsung, dimana melalui media ini siswa bisa memahami akan pentingnya pelestarian nilai budaya dan makna motif hias itu sendiri. Seperti aplikasi motif hias “saik ajik babungo”, mengandung makna kehati-hatian dalam berbuat dan menghadapi berbagai permasalahan.

Implementasi dan telaah nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran ini telah menjadi dasar bahwa kekayaan alam Minangkabau sangat penting untuk terus dilestarikan. Diharapkan melalui pembelajaran ini, nilai ragam hias budaya lokal lebih dikenal terutama kalangan generasi muda. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Penulis merupakanAlumni Magister Sains Universitas Andalas dan Pegiat Literasi Sains dan Budaya.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini