Di balik pertanyaan ini, ada keheranan yang wajar. PPATK memiliki data dan tahu mana saja rekening yang terlibat dalam perputaran uang judol, bahkan hingga identitas pemiliknya. Namun, tindakan konkret seperti pemblokiran massal, penghapusan rekening, atau pemanggilan bandar-bandar besar tampaknya masih menjadi "PR besar."
Sebaliknya, yang sering terdengar adalah kasus pemanggilan orang yang diduga terlibat judol di daerah-daerah, di mana para oknum aparat keamanan diduga meminta sejumlah uang agar kasus tidak berlanjut ke ranah hukum. Seorang netizen bahkan menyebut, ini sudah menjadi pola di berbagai daerah, seolah ada koordinator di tingkat pusat.
Sungguh ironi, ketika masyarakat kecil justru diperas dan disandera oleh "sistem restorative justice" yang dijalankan sejumlah oknum aparat, sementara pemain besar dan bandar utama tetap melenggang tanpa gangguan. Kerusakan ini sudah bersifat masif dan terstruktur.
Seperti yang disampaikan oleh Rulie Maulana di X, ada kekhawatiran bahwa data PPATK "bocor" ke pihak tertentu, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk keuntungan oknum penegak hukum di lapangan. Hasilnya, mereka yang berjuang untuk bertahan hidup malah yang terseret-seret, sementara bandar besar tetap nyaman dengan rekening yang aman dan terlindungi.
Ironisnya lagi, judi online yang dulu dianggap sebagai kegiatan ilegal dan mengancam moral masyarakat kini berkembang menjadi “sumber pendapatan” yang menarik, bukan hanya bagi bandar, tapi juga bagi aparat tertentu melalui "bisnis perdamaian."
Angka Rp 25 juta disebut-sebut sebagai "tarif" bagi mereka yang ingin terbebas dari jerat hukum. Jadi, alih-alih menumpas akar masalahnya, solusi justru menjadi "jalan keluar" untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dengan data PPATK yang begitu detail serta fakta-fakta yang seharusnya memudahkan penindakan, publik mempertanyakan, apakah benar tindakan tegas itu sulit direalisasikan? Ataukah ada elemen lain yang sengaja membiarkan masalah ini terus berlarut-larut demi keuntungan segelintir orang?Seperti kata pepatah, di negeri yang “gemah ripah loh jinawi,” masalah sebesar apa pun akan hilang begitu saja—asal ada "perdamaian." Hukum dipermainkan. Keadilan dibuang ke tong sampah. Hanya "revolusi," mungkin, yang bisa mengatasi semua ini.
*Cak AT - Ahmadie Thaha*
_Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 09/11/2025_