Memang benar begitu, setelah sampai di ruangan mutasi, kami bertemu dengan beberapa orang teman yang sama-sama habis periode kepala sekolah. Satu persatu kami menerima SK kembali ke guru dari pegawai yang bertugas di sana. Ya menerima selembar SK kembali ke guru, walau sedikit sedih kami tetap bisa saling tertawa bercerita untuk rencana kedepannya. Hanya sampai di sana? Paling tidaknya ada sedikit ucapan dari kami, entah kepada siapa kami pun tidak tahu.
Karena sebagian besar dari kami yang 14 orang itu sudah lebih dari 4 periode sebagai kepala sekolah. Dengan rentang waktu yang sangat lama itu mungkin ada di antara kami melakukan kesalahan, bak kata pepatah Minang “Datang tampak Muko, Pai tampak Pungguang”.
Sebagai kepala sekolah yang telah dikembalikan bertugas sebagai guru, karena habis periode kami diberi penghargaan untuk bebas memilih SD mana yang kami inginkan. Saya menginkan sebuah SD di kecamatan saya juga tentunya. Namun saat menerima SK saya berbeda dari teman-teman yang lain, yang penempatannya sesuai dengan keinginannya. Saya sendiri ditempatkan di sebuah SD kecil, yang jumlah siswanya tidak sampai 50 orang.
Waktu itu agak kecewa, karena saya sebetulnya telah lapor dulu pada kepala sekolah yang awal saya inginkan, dengan senang hati kepala dan guru menerima saya sebagai guru di SD tersebut. Tapi kenyataannya saya malah di SD kecil, yang sebagian besar terdiri dari anak panti. Lagi pula awalnya saya tidak tahu apa saya diterima sebagai guru pendatang baru di SD ini, bergalau pemikiran dikepala ini di waktu itu.
Malamnya saya merenung, apa yang harus saya perbuat agar sisa masa tugas bisa bermanfaat untuk banyak anak dan masyarakat. Saya ingin berjuang walau sebagai guru, paling tidaknya bisa membantu kepala sekolah untuk lebih memajukan SD ini, karena SD Negeri ini adalah sekolah saat saya masih SD dulu. Berbagai kenangan dengan guru-guru dan teman-teman teringat kembali di lokasi SD saya yang baru ini.
Sebagai guru baru di SD yang baru pula, saya harus bisa menerima kelas berapa yang diberikan kepala sekolah pada saya. Lagi pula saat saya dikembalikan jadi guru saat itu awal Februari atau awal semester dua. Maka kepala sekolah memberikan tugas kepada saya yaitu mengajar kelas dua.Mulai saat itu jadilah saya seorang guru kelas 2 yang bertanggung jawab penuh untuk mendidik dan mengajar siswa saya.Hari dan minggupun telah saya lewati, tapi saya semakin hari semakin merasa tidak punya kemampuan lagi untuk mengajar.Walau siswa yang saya ajar hanya 4 orang tapi saya merasa kehabisan tenaga. Padahal sebelum jadi kepala sekolah saya pernah mengajar satu lokal dengan jumlah siswa empat puluh orang lebih.
Kenapa saya merasa putus asa saat mulai mengajar lagi, begini ceritanya. Ada seorang anak yang sukar dikendalikan. Selalu tidak fokus, dan nampaknya dia tidak berminat dengan pelajaran apapun. Terkadang mengganggu proses pembelajaran, membawa mainan ke ruangan kelas. Terkadang membawa makanan satu kantong plastik kresek, dan dengan santainya dia makan-makan dalam kelas saat proses pembelajaran berlangsung. Saya memanggilnya anak kesayangan, walau dia cuek dan tidak peduli pada saya.
Pada suatu hari anak kesayangan saya itu juga bertingkah seperti biasa, mengganggu teman, mengganggu proses pembelajaran, hingga kesabaran saya habis, maka saya ambil mainannya, sialnya mainan itu patah di tangan saya. Saya lihat dia sangat kesal, dan saya berusaha tenang, walau mau pingsan rasanya.