Catatan Kebudayaan: Menjadi Gubernur Kebudayaan di Sumatera Barat

Foto Oleh: Sastri Bakry
×

Catatan Kebudayaan: Menjadi Gubernur Kebudayaan di Sumatera Barat

Bagikan opini
Ilustrasi Catatan Kebudayaan: Menjadi Gubernur Kebudayaan di Sumatera Barat

Saya menyimpan itu semua karena alasan subjektif. Dia teman saya jadi aibnya mesti saya simpan. Apalagi serangan padanya bertubi-tubi. Dari dalam unit kerjanya mau pun dari luar termasuk seniman yang merupakan mitra kerja yang mesti dirawatnya. Suara-suara seniman itu patut didengarkan, tak boleh saya mengabaikan atau seolah-olah baik- baik saja. Tidak fair lah. Karena itu saya ingin berhadapan langsung dengannya untuk menyampaikan isu yang berkembang dan pemetaan risiko jika tak tertangani dengan baik isu-isu kebudayaan. Jika bersama dibicarakan pasti ada solusi dari kegelisahan seniman.

Awalnya penyampaian saya dengan ketawa- ketawa bahkan saya juga tak membenarkan seniman yang hanya mengritik tanpa solusi.

Ada hal- hal yang perlu saya bicarakan soal kegiatan Kebudayaan terutama fasilitas sarana prasana untuk berkarya. Apalagi ketika seorang Musisi, Ioqo Alhamra, mengeluh tak bisa dipinjamkan tempat untuk latihan di gedung kebudayaan. Ia bahkan di tolak secara halus, dengan menyarankan untuk mengajukan surat permohonan peminjaman ke gubernur. Padahal yang dipinjamnya hanyalah sesudut kecil ruang untuk latihan musik anak- anak.

Ioqo alhamra ini kenal baik dengan gubernur tapi minta pendapat saya yang sudah dianggapnya seperti orang tua, toh bisa saja dia langsung "mangadu" ke buya. Memang aneh untuk keputusan pinjam tempat kecil saja harus persetujuan gubernur.

Saya awalnya kurang percaya soal Kadis tak mau memfasilitasi gedung kebudayaan untuk peristiwa kebudayaan. Namun banyak keluhan lainnya dari seniman maupun staf di Dinas Kebudayaan. Misalnya soal arogansi kekuasaan, soal feodal, soal tidak adil, soal percaya dengan pengaduan, soal tidak objektif, soal baper, soal tidak peduli peristiwa kebudayaan. Wah menurut saya itu parah. Bukankah kebudayaan itu segala hal berkaitan dengan hasil cipta karsa dan karya serta adab perilaku manusianya? Membangun peradaban dimulai dari jiwa, perilaku dan tingkah laku. Jika hal mendasar saja belum duduk bagaimana kita akan bicara soal ide, soal kreatifitas, soal inovasi apalagi kolaborasi strategik, program dan kegiatan?

Maka dengan semangat heroisme tinggi dan kesetiakawanan seniman saya coba bicara. Mencoba mengajaknya duduk makan di kedai Papi Monon. Konon duduk berbincang dengan seniman di uwo Kardi atau papi Monon tak pernah dilakukannya untuk merasakan denyut jantung seniman. Seolah ada jarak Kepala Dinas dengan seniman budayawan.

Akhirnya saya beberapa kali minta waktu ketemu lagi untuk pembicaraan serius. Pertama tak bisa jumpa karena beliau sakit. Kedua dia lagi acara, ketiga dia lagi istirahat. Nah soal istirahat inilah kemudian menjadi isu yang berkembang. Bahwa Kadis tak bisa diganggu karena sedang sakit. Jadi perlu istirahat. Sehingga menjadi rumor, Kadis sering tidur di kantor karena sakit.

Sayang sekali gaung tak bersambut ya. Saya pernah dikomplain karena berpihak pada seniman yang terlalu keras dan mempermalukan Dinas Kebudayaan. Padahal saya sendiri sering berdebat dengan seniman. Itu hal biasa. Namun agaknya no viral no justice lah yang membuat seniman buka-bukaan menggunakan bahasa vulgar karena airnya tersumbat sehingga damnya pecah meleleh hingga kemana-mana.

Apakah seniman difasilitasi berarti tidak ada ruang berdialektika?

Saya tetap penasaran dengan cerita seniman. Ada yang tajam mengkritik Dinas Kebudayaan tidak melaksanakan tugas, ada yang melengoh, ada yang merepet terus karena tak jelas peran Dinas Kebudayaan di setiap kegiatan bahkan di acara sebesar AA Navis yang diakui UNESCO saja, bisa saja tak datang. Kebanyakan lebih suka diam saja meski tak dipedulikan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini