Jangan Ada Susu

Foto Ahmadie Thaha
×

Jangan Ada Susu

Bagikan opini
Ilustrasi Jangan Ada Susu

Fakta berikut mungkin akan membuat Anda tercengang. Jika Anda mengira susu adalah takdir manusia, sejarah berkata lain. Program susu di sekolah (Milk in School) bermula di Amerika saat Perang Dunia I. Ini dibuat bukan karena anak-anak butuh, tapi karena pemerintah perlu menghabiskan stok susu untuk prajurit. Setelah perang usai, industri susu meluncurkan slogan seperti "Got Milk?" untuk menjaga laju bisnis.

Dan begitulah, Indonesia menelan narasi ini mentah-mentah. Padahal, sekitar 68% populasi dunia mengalami intoleransi laktosa, termasuk banyak orang Indonesia. Alih-alih sehat, susu justru membuat perut kembung, kram, atau diare. Jadi, mengapa kita masih rela menjadi "sapi perah" industri global?

Kini mari menengok ke sekolah. Anak-anak sering kali harus puas dengan menu seadanya. Jika program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar ingin membantu, susu impor bukanlah jawabannya. Sumber pangan lokal seperti telur, kelor, atau bahkan ikan kecil seperti teri jauh lebih realistis —murah, bergizi, dan tersedia di sekitar kita.

Program MBG harus berhenti mengagungkan susu sebagai simbol gizi. Sebagai negara agraris, Indonesia punya sumber daya lokal yang lebih berkelanjutan, seperti daun basil, kelor, telur rebus, dan puluhan jenis ikan. Ini bukan sekadar tentang nutrisi, tetapi tentang kedaulatan pangan dan efisiensi anggaran.

Lupakan propaganda Got Milk? Kita punya slogan sendiri: Got Kelor!. Karena sebenarnya, mengandalkan susu impor hanya menjadikan kita sapi perah bagi industri global. Sudah saatnya kita berdiri di atas kaki sendiri, menatap masa depan yang bebas dari mitos gizi gratis. Mari bersama-sama berseru: Jangan Ada Susu!(*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini
pekanbaru