Ironisnya, hal ini tidak terjadi di Israel sendiri. Di sana, sistem pendidikan yang sangat terideologisasi telah menciptakan generasi yang, dalam kata-kata Pappe, “fanatik rasis.” Pikirkan saja: sebuah masyarakat yang bisa melihat gambar bayi Palestina yang tewas dan mereka berkata, “Bagus.” Ini bukan hanya tragedi; ini satire tentang bagaimana indoktrinasi dapat menciptakan kebutaan moral yang kolektif.
Pappe tidak memberikan solusi cepat. Ia tahu bahwa “fase terakhir” ini bisa berlangsung lama dan penuh kekerasan. Namun, ia juga percaya bahwa akhirnya, Zionisme akan runtuh seperti kekaisaran-kekaisaran lain yang mencoba mempertahankan kolonialisme dengan kekerasan.
Bagi Pappe, harapan itu ada, tetapi ia terletak pada pembentukan aliansi global yang berakar pada perjuangan melawan ketidakadilan, baik itu soal Palestina, perubahan iklim, atau kemiskinan global. Jika aliansi ini bisa terorganisasi dan bekerja sama meski berbeda pandangan, mereka mungkin dapat mengakhiri kisah tragis ini dengan catatan kemenangan kecil untuk kemanusiaan.
Dan di sinilah letak ironi terbesar: Neo-Zionisme, dengan semua kekejaman dan ambisinya, mungkin akan menjadi aktor utama dalam menjamin kehancurannya sendiri. Sejarah, ternyata, memang sutradara yang gemar menyisipkan lelucon di tengah drama manusia.
Cak AT - Ahmadie ThahaMa'had Tadabbur al-Qur'an, 18/1/2025