Komisi tiga DPR menyampaikan sedang menyusun RUU perubahan KUHAP sebagai prolegnas prioritas 2025.
Merujuk data pada pusat perancangan UU bidang politik hukum dan HAM DPR terdapat alasan perubahan KUHAP dari mengatasi permasalahan dan penerapan KUHAP di masyarakat, sinkronisasi dengan norma UU dan perjanjian internasional yang diratifikasi, menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan norma dalam KUHAP, kebutuhan masyarakat memenuhi rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, memberikan kemanfaatan serta alasan menyesuaikan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana baru.
Masalah kewenangan penyidikan sebagai penentu suatu kasus ditindaklanjuti atau tidak tentu poin krusial diantara penegak hukum. Merujuk pada KUHAP sekarang, kepolisian memilikik kewenangan tunggal dalam pidana umum termasuk penyidikan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu karena tetap berada dibawah koordinasi penyidik kepolisian.
Adanya ketentuan peralihan KUHAP pasal 284 ayat 2 “semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” menjadi pintu lembaga lain melakukan penyidikan perkara pidana seperti BNN, Kejaksaan, KPK, KLH, KKP dan lainnya yang diberikan UU terkait disamping kewenangan penyidikan oleh kepolisian.
Meskipun sama memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, tidak bisa dipungkiri penyidik kepolisian tertinggal dari segi kualitas kasus dibandingkan KPK apalagi Kejaksaan bahkan sejalan dengan survei kepercayaan lembaga pemerintah dirilis lembaga Indikator Burhanuddin Muhtadi pada Senin 27 Januari 2025 kejaksaan menempati urutan ketiga dibawah presiden dan TNI, KPK urutan tujuh dan kepolisian urutan kesembilan setelah pengadilan.
Masalah bola panas pagar laut yang lebih besar kemungkinan masuk ranah pidana umum justru sampai sekarang kalah langkah dari sikap tegas kementerian ATR dan KKP.
Meskipun DPR menyatakan akan menyusun kembali RUU KUHAP dari nol namun merujuk kepada draf RUU yang sudah beredar terkait kewenangan penyidikan masih tidak jauh berbeda dari KUHAP sekarang dilakukan kepolisan, PPNS tertentu dibawah koordinasi penyidik kepolisan dan pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang undang tertentu.Pengaturan baru dalam RUU yang menarik adalah kewenangan penuntut umum (kejaksaan) menerima laporan peristiwa pidana oleh masyarakat apabila empat belas hari tidak mendapatkan tanggapan dari (semua) penyidik sesuai kewenangan untuk selanjutnya penuntut umum wajib mempelajari dan jika cukup alasan serta cukup bukti permulaan adanya tindak pidana wajib meminta penyidik melakukan penyidikan disertai menunjukkan tindak pidana serta pasal apa yang dapat disangkakan. Lebih jauh bila penyidik tetap tidak melakukan penyidikan empat belas hari berikutnya, maka undang undang memberi kewenangan kepada penuntut umum menindaklanjuti laporan. Kewenangan ini berbeda dengan KUHAP sekarang dimana posisi penuntut umum lebih bersifat pasif menunggu hasil penyidikan dari penyidik dan melakukan prapenuntutan dalam rangka mengoptimalkkan hasil penyidikan atau mengambil alih penyidikan yang tidak tuntas seperti kasus pembalakan hutan.
Seiring isu perubahan KUHAP maka salah satu diskursus yang berkembang di publik adalah mengenai penyidikan. Apakah lembaga yang berwenang melakukan penyidikan tetap seperti sekarang terdapat di berbagai lembaga, penyidikan tunggal di kepolisian atau dilakukan oleh kejaksaan sebagaimana berlaku di berbagai negara. Mengutip kantor berita antara salah satu Ahli hukum tata negara Universitas Airlangga Surabaya Radian Salman mengatakan RUU KUHAP harus diarahkan pada penguatan penegakan hukum mewujudkan kebenaran materiil dan formil sehingga perlu dilakukan diferensiasi fungsional dengan pemisahan yang jelas antara tugas penyidikan oleh kepolisian dan tugas penuntutan oleh kejaksaan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di satu lembaga dengan merujuk Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007. Padahal bila dibaca menyeluruh Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007 Tanggl 27 Maret 2008 yang masih dipimpin oleh Jimli Asshidiqie tersebut isinya tidak menerima seluruh permohonan (niet ontvankelijk verklaard). Putusan MK Nomor 28 dimaksud diajukan seorang purnawirawan TNI Subardja Midjaja merasa dirugikan karena dilakukan penyidikan kembali dan ditahan oleh kejaksaan tahun 2007 padahal tahun 2004 kasusnya telah dikeluarkan SP3 oleh Mabes Polri sehingga merasa tidak ada kepastian hukum padahal kasus di Mabes Polri terkait Tindak Pidana Pasal 374 KUHP/Pasal 372 KUHP sementara kejaksaan menyidik dalam kasus penyelewengan dana BPKPP-ASABRI. Karena itu meminta Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terkait “wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang” bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon.
Dalam putusan MK Nomor 28 Tahun 2007 terungkap pandangan beberapa ahli pidana antara lain menurut Prof Andi Hamzah bahwa dalam KUHAP terbaru Georgia ditentukan lima instansi yang dapat menyidik, yaitu Penyidik Departemen Dalam Negeri, Kantor Kejaksaan, Polisi Keuangan dari Departemen Keuangan, Departemen Pertahanan, dan Departeman Kehakiman. KUHAP Georgia mengatur apabila penyidikan tumpang tindih antara kejaksaan dan penyidik lain maka kejaksaan yang menyidik. Kemudian apabila terjadi perselisihan antara penyidikan dari para penyidik yang lima maka diselesaikan oleh superior prosecutor (Jaksa Tinggi).