Potensi Korupsi MBG

Foto MOHAMMAD ISA GAUTAMA
×

Potensi Korupsi MBG

Bagikan opini
Ilustrasi Potensi Korupsi MBG

SESUAI yang bisa dibaca dari berbagai sumber, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan keluarga dengan kondisi ekonomi lemah. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, yang menjadi fondasi penting dalam membangun generasi mendatang.

Meski ambisi program ini tampak menjanjikan, implementasinya di lapangan disinyalir tidak selalu berjalan sesuai rencana. Sebagaimana banyak program bantuan sosial lainnya di Indonesia, MBG menghadapi ancaman serius berupa korupsi, mal-implementasi, dan ketidaktepatan sasaran. Survei yang diselenggarakan Indikator Politik Indonesia baru-baru ini bahkan menunjukkan bahwa 46,9 persen responden menganggap program makan bergizi gratis berpotensi dikorupsi (kompas.com, 27/1).

Sejak awal peluncurannya, tata kelola program MBG telah menuai banyak kritik. Laporan media menyebutkan adanya kasus distribusi bantuan yang tidak sampai kepada masyarakat yang berhak, sementara di beberapa daerah, ditemukan makanan yang diklaim bergizi tetapi memiliki kualitas yang diragukan. Pada sisi lain, beberapa kontraktor pengadaan makanan diduga memiliki hubungan langsung dengan pejabat daerah, sehingga memunculkan konflik kepentingan. Fenomena seperti ini membuka celah bagi praktik kolusi, di mana pengadaan makanan tidak hanya berpotensi mengalami mark-up harga, tetapi juga menggunakan bahan-bahan dengan kualitas rendah.

Ketika berbicara tentang program seperti MBG, isu utama yang kerap muncul adalah lemahnya pengawasan. Di Indonesia, sistem pengawasan terhadap program sosial sering kali tidak berjalan efektif karena beberapa faktor. Salah satunya adalah ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan. Program MBG, yang seharusnyatransparan, justru cenderung tertutup dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan. Kurangnya transparansi ini menciptakan ruang gelap yang sangat dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi/golongan.

Secara teori, potensi korupsi dalam program sosial seperti MBG dapat dijelaskan melalui model Klitgaard (1988), yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, kebebasan diskresi yang terlalu besar, dan lemahnya akuntabilitas. Dalam konteks MBG, monopoli kekuasaan terlihat dari sentralisasi pengambilan keputusan di tangan segelintir pihak, sementara diskresi muncul dalam bentuk kebebasan pejabat untuk menentukan kontraktor atau penerima manfaat tanpa prosedur yang jelas. Lemahnya akuntabilitas semakin memperparah situasi, karena minimnya mekanisme pengawasan independen yang memastikan bantuan benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak.

Selain korupsi, potensi ketidaktepatan sasaran menjadi ancaman serius bagi keberhasilan program MBG. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa banyak program bantuan sosial di Indonesia tidak sampai kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan. Dalam kasus MBG, masalah ini sangat berpeluang muncul karena kurangnya validasi data penerima manfaat. Di beberapa daerah, ditemukan kasus di mana makanan bergizi justru diberikan kepada pegawai pemerintahan atau kerabat pejabat yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria penerima bantuan. Hal ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga merugikan masyarakat miskin yang seharusnya menjadi prioritas utama program ini.

Lebih jauh, ketidaktepatan sasaran juga sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan lokal. Sebagai contoh, jenis makanan yang didistribusikan di beberapa wilayah sering kali tidak sesuai dengan preferensi budaya atau kebutuhan nutrisi masyarakat setempat. Misalnya, distribusi makanan berbasis gandum di wilayah yang lebih terbiasa mengonsumsi nasi atau ubi sering kali menimbulkan resistensi dari masyarakat penerima. Akibatnya, makanan yang didistribusikan tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan berakhir menjadi limbah.

Masalah-masalah ini bukanlah hal baru dalam pengelolaan program sosial di Indonesia. Sejarah panjang program bantuan sosial, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH), menunjukkan bahwa ketidaktransparanan, korupsi, dan ketidaktepatan sasaran adalah kasus yang terus berulang. Program-program ini sering kali dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperkuat basis politik mereka, baik melalui praktik patronase maupun penggunaan bantuan sebagai alat kampanye. Dengan kata lain, program bantuan sosial di Indonesia sering kali lebih berorientasi pada kepentingan politik daripada pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencegah MBG menjadi ladang baru bagi korupsi, beberapa langkah strategis perlu diambil. Transparansi harus menjadi prinsip utama dalam setiap tahap pelaksanaan program, mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga distribusi. Sebagai contoh, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan akuntabilitas. Sistem Informasi Manajemen (SIM) dapat digunakan untuk memantau distribusi makanan secara real-time, sehingga meminimalkan peluang penyimpangan. Selain itu, aplikasi berbasis data dapat digunakan untuk memverifikasi identitas penerima manfaat, memastikan bahwa bantuan hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar memenuhi syarat.

Di samping itu, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam pengawasan program. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui pembentukan komite pengawas di tingkat lokal, yang terdiri dari perwakilan masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Dengan melibatkan berbagai pihak, pengawasan terhadap program MBG dapat dilakukan secara lebih transparan dan independen.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini
pekanbaru