Kenapa Tawuran Belum Kunjung Berhenti?

Foto Isral Naska, Ph.D
×

Kenapa Tawuran Belum Kunjung Berhenti?

Bagikan opini
Ilustrasi Kenapa Tawuran Belum Kunjung Berhenti?

Beberapa bulan belakangan ini kita menyaksikan bahwa pemerintah kota dan provinsi serta DPRD sering berbicara tentang fenomena tawuran. Ada yang memberikan himbauan lewat spanduk. Ada yang mendukung terbentuknya organisasi masyarakat yang dipercaya dapat mencegah terjadinya tawuran. Selain itu beberapa lembaga lainnya turut serta dengan cara merancang event olahraga pertarungan, berharap remaja-remaja itu mengalihkan energi tawurannya ke arena olahraga.

Walaupun demikian, fenomena tawuran antar remaja-pelajar tetap saja terjadi. Setelah kasus viral pada Agustus 2024, dimana seorang remaja mengalami cacat permanen akibat tawuran, aksi tersebut tetap berlanjut. Setelah peristiwa itu, hampir tiap bulan tawuran terjadi di kota Padang hingga Desember 2024. Beranjak ke tahun 2025, hingga Februari saja beberapa media dan akun media sosial telah beberapa kali memberitakan peristiwa tawuran.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu mengeluarkan kebijakan yang efektif untuk mengurangi dan menghilangkan fenomena tawuran di kota Padang. Ini tentu sangat disayangkan mengingat pemerintah daerah memiliki kekuatan dan potensi untuk menghentikan hal tersebut. Pemerintah memiliki anggaran, sarana prasarana yang memadai, aparatur yang jumlahnya ribuan, serta didukung oleh aparat keamanan dan penegakan hukum.

Pertanyaan pentingnya adalah; kenapa bisa terjadi demikian? Kenapa berbagai kebijakan dan upaya pemerintah belum dapat mencegah tawuran remaja di kota Padang.

Saya menduga bahwa kita belum melakukan riset (penelitian) sebelum sebuah kebijakan diambil. Sudahkah pemerintah melakukan riset tentang masalah sosial yang sebenarnya terjadi? Berdasarkan apa himbauan dan tindakan yang dilakukan pemerintah selama ini? Apakah berdasarkan hasil riset atau kesimpulan-kesimpulan yang subjektif?

Kekuatan Riset Untuk Mencapai Tujuan Pemerintah

Salah satu contoh sejarah tentang betapa riset sosial dan budaya dapat membantu sebuah pemerintah mencapai tujuan secara efektif dapat dilihat dari apa yang dilakukan Belanda pada perang Aceh. Belanda memulai perang dengan Aceh pada tahun 1873. Dekade awal masa perang, Aceh tidak dapat ditaklukkan. Bahkan Belanda mengalami kerugian militer yang cukup besar.

Pada tahun 1891, Belanda menyelundupkan seorang peneliti sosial dan budaya, bernama Snock Hourgronje untuk melakukan riset terhadap orang-orang Aceh. Berbekal ilmu keislaman yang ia dapatkan di Makkah, Snock berhasil mencitrakan diri di hadapan rakyat aceh sebagai ulama. Ia memperkenalkan diri sebagai Syeikh Abdul Ghaffar. Selama menyamar jadi ulama di Aceh, Snock rutin mengirim laporan riset dan rekomendasi kepada Belanda. Berdasarkan riset Snock di Aceh itu, Belanda merumuskan berbagai kebijakan untuk menaklukkan Aceh.

Berbagai rekayasa sosial dilakukan oleh Snock dan Belanda untuk memperlemah kekuatan perlawanan Aceh. Salah satu rekayasa sosial penting itu adalah menciptakan jarak dan kerenggangan antara kaum bangsawan dan ulama. Selain itu, Snock juga merekomendasikan Belanda untuk merebut simpati rakyat Aceh dengan mempermudah dan memfasilitasi ibadah, namun menekan potensi perlawanan. Dibantu oleh riset yang dilakukan Snock, Belanda berhasil menaklukkan Aceh pada tahun 1904.

Bagikan

Opini lainnya
forum pemred
Terkini
pekanbaru