Artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran kepada masyarakat khususnya orang muda Minangkabau, agar dapat membedakan antara ajaran Islam dengan budaya Arab. Banyak contoh yang bisa digunakan, salah satunya di sini saya ambil aspek berkomunikasi. Tapi sebelum masuk ke situ, simak cerita saya ini dulu.
Pertemuan dengan seorang hamba Allah.
Suatu hari dalam satu perjalanan di Ranah Minangkabau ini, saya mampir ke sebuah mesjid menunaikan sholat. Tak sengaja bertemu dengan seorang anak muda Minangkabau, yang ramah dan menegur saya. Akhirnya terjadi lah dialog, dia cerdas, tamatan S2 (master) di Timur Tengah. Dia berjubah coklat dan bertopi haji warna hitam, berjenggot tipis. Dia bicara tentang ketimpangan dan ketidak-benaran dalam kehidupan orang Minangkabau zaman kini, terutama anak muda. Katanya berlawanan dengan filosofi ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah).
Ketika saya coba berikan sedikit pandangan tentang keadaan Minangkabau, dia langsung merujuk sejarah Islam, kehidupan zaman Rasulullah, zaman Abbasiyah, Ottoman dan lain-lain. Sampai di sini saya mengerti, bila ketemu dengan yang begini, saya biasanya mundur dan lebih banyak mendengarkan sambil menyerap ilmunya.
Tapi saya sempatkan juga bertanya, apa saja buku sejarah tentang Minangkabau yang sudah dibacanya. Jujur dia menjawab, bahwa pengetahuannya tentang sejarah Minangkabau bisa dikatakan kosong. Karena dulu merantau dengan orang tua, lalu pulang kampung ketika masuk MAN (Madrasah Aliah Negeri). Saya tanya lagi apakah pernah baca sejarah ABS-SBK, jawabnya juga belum pernah, karena tidak pernah ketemu bukunya. Artinya, dia mungkin hanya tahu ABS-SBK sebatas satu slogan saja, tapi belum tentu paham apa itu ABS-SBK. Karena mengetahui sejarah proses kelahiran filosofi itu akan menerangkan dan akan membuatnya paham, tidak hanya sekedar tahu. Terakhir saya tanya, apa pernah baca buku ‘Islam dan Adat Minangkabau’ karya Hamka, jawabnya juga belum.
Dalam hati saya bertanya, mungkinkah begini keadaan kebanyakan anak-anak kita yang tamatan luar negeri, dari Arab maupun dari Barat? Ingin nyumbangkan ilmu untuk daerahnya, tapi bekal ilmu kurang, tidak paham prilaku budaya masyarakatnya.Pentingnya memahami sejarah, budaya dan bahasa.
Dewasa ini sering kita bersua dengan orang-orang cerdas non-human science (bukan dari bidang sains kemanusiaan), yakni orang-orang dengan latar pendidikan kurang bersentuhan dengan masalah sosio budaya, ini adalah kelompok pertama. Kedua, adalah orang-orang yang memang terkait dan berkecimpung dalam bidang sosio budaya, apakah dengan latar belakang terdidik secara akademik atau otodidak. Kelompok kedua ini kebanyakannya mereka tahu banyak soal isu-isu sosio budaya, sering emosi/sakit hati melihat berbagai ketidak-benaran. Tetapi tidak memahami aspek bahasa, hingga sering terkesan kurang berbudaya dalam argumen. Kelompok ketiga, adalah kalangan terdidik dalam berbagai bidang, tetapi lemah dalam pemahaman sejarah dan bahasa. Karena budaya (cara hidup) yang kita lakoni hari ini sangat erat hubungannya dengan sejarah masa lalu, dan pola komunikasi yaitu bahasa.
Minimnya pemahaman sejarah dan bahasa, seringkali membuat orang terjebak dalam pergolakan yang bersumber dari diri sendiri. Sejarah membuat kita paham maksud dan tujuan sesuatu, bahasa membuat kita mampu mendefinisikan makna sesuatu. Minimnya pemahaman terhadap kedua-dua aspek ini, sering membuat satu diskusi berubah menjadi debat kusir. Di negeri ini aspek sejarah, budaya dan bahasa dipandang sebelah mata, dianggap tidak terlalu penting. Di sinilah beda kita dengan negara maju yang menganggap ketiga aspek itu sangat penting.
Budaya Arab, budaya Minangkabau & ajaran Islam.