Shalat merupakan ibadah yang paling utama dibandingkan ibadah puasa dan ibadah lainnya. Demikian ungkapan Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi (w. 676 H), oleh karena itu kata beliau, sudah selayaknya seorang mukmin menjaga ibadah shalatnya dan menambah kuantitasnya (shalat sunnah) serta menjaga kualitasnya.
Maka Ramadhan dapat dijadikan salah satu momentum untuk mengevaluasi pelaksanaan ibadah shalat, baik dari sisi rukun, syarat maupun khusuknya serta dampak yang muncul dari shalat dalam bentuk perilaku.
Salah satu hikayat penting untuk mengevaluasi ibadah shalat, dapat dipetik dari peristiwa yang dialami oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H).
Beliau pernah ditanya oleh murid-muridnya tentang standarisasi shalat yang baik dan benar. Shalat yang baik dan benar itu dapat dilihat dari selesai salam sampai takbiratul ihram, jelas al-Ghazali.
Jawaban itu dianggap keliru oleh murid-muridnya karena shalat adalah perkataan, perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Demikian pengertian shalat menurut ulama fikih. Jelas, menurut pengertian ini bahwa shalat yang baik dan benar dapat dilihat dari semenjak takbiratul ihram sampai salam.Kata al-Ghazali, pengertian yang dikemukakannya bukan keliru, sebab bila shalat seseorang sudah baik dan benar, maka ia akan terjauh dari melakukan semua perbuatan keji dan tercela semenjak selesai salam dari satu shalat sampai takbir pada shalat berikutnya. Dapat menjaga diri dari berbuat dosa dari selesai salam shalat subuh sampai takbiratul ihram pada shalat zuhur, itulah standarisasi shalat yang baik dan benar.