Ibukota lebaran, Bukittinggi, Ahad (23/3/25) sepi. Tak tahu saya hari-hari sebelumnya. Tampak saya puyuah balari, itu kondisi Pasa Ateh. Pasar lain? Mungkin sama.
Biasanya selalu ramai. Ini mau lebaran malah tidak. “APBN dan APBD belum cair, katanya masih disusun setelah dipangkas,” kata Aci wartawan senior yang pergi bersama saya.
Kata kawan saya di sebuah koperasi, belum ada kontraktor yang datang, itu artinya anggaran pemerintah memang belum cair.
Uang, jika masih dalam catatan, takkan bekerja. Jika uang diam, ekonomi lesu. Kelesuan itulah yang tampak di Bukittinggi bagi saya beberapa jam kala sore menjelang senja, Ahad.
“Yo langang Pak,” kata seorang pedagang di Pasa Ateh.
“Balanjo lah, kamarilah, apo cari?” Saya tak mendengar suara itu. Mungkin karena sedang berpuasa. Bermula di pelataran Jam Gadang, sepi. Towernya dicat ulang, seorang kawan menyebut, “Jam Gadang babaju rayo.” Cat yang dipakai Nippon Point. Sebuah spanduk mencolok: Cagar Budaya Jam Gadang dicat menggunakan Nippon Point.” Luar biasa.
Melangkah ke pasa batingkek, lantai satu terlihat banyak orang berjalan, tapi masih sepi kalau dibanding kapasitas ruangan tengah dan toko yang berderet. Lantai di atasnya beberapa tingkat, nyaris tak ada orang.“Sabarlah, Senin akan ramai,” kata Aci. Bisa jadi.
Secara awam, Bukittinggi dijadikan indikator ekonomi membaik, apalagi tasasak rirayo seperti sekarang. Jika ramai, ekonomi baik dan sebaliknya.
“Kama Bang,” seorang kawan yang sedang maracak motornya menyapa saya. Ia bawa istri dan anak.