Refleksi untuk Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang gerakan sipil: mulai dari mahasiswa 1998, protes omnibus law, hingga berbagai inisiatif warga dalam isu lingkungan dan HAM. Namun belakangan, ruang gerak sipil kita menyempit. Demonstrasi damai sering dihadapkan dengan represi. Aktivis dikriminalisasi, dan media menghadapi tekanan politik maupun ekonomi. Diskursus publik pun kerap diracuni oleh disinformasi dan polarisasi yang tajam.
Dalam situasi seperti ini, peristiwa di Korea Selatan menjadi pengingat penting: demokrasi tidak akan bertahan tanpa warga yang terlibat aktif, kritis, dan sadar. Pemilu saja tidak cukup. Kita butuh ruang publik yang sehat dan inklusif, tempat warga bisa bersuara tanpa takut, tempat media bisa bekerja tanpa dikungkung, dan tempat institusi bisa dikritik tanpa dianggap makar.
Ada tiga hal yang bisa kita dorong. Pertama, membuka ruang diskusi publik yang bebas dari ancaman dan sensor, baik secara fisik maupun digital. Kedua, memperkuat literasi politik agar warga tidak mudah terjebak narasi populis atau disinformasi. Ketiga, mendorong solidaritas antar kelompok sipil lintas identitas agar gerakan warga tidak tercerai oleh kepentingan sesaat.
Demokrasi, Bukan Sekadar SeremonialDemokrasi tidak boleh dipahami semata sebagai sistem elektoral. Ia adalah ekosistem: terdiri dari kebebasan sipil, institusi yang akuntabel, media yang independen, dan yang terpenting—warga yang berpikir dan bertindak sebagai bagian dari republik. Di sinilah civil society memainkan peran sentral. Ketika negara mulai kehilangan arah, masyarakat sipil harus menjadi penyeimbang. Ketika elite politik sibuk mengatur kekuasaan, warga sipil harus mengingatkan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Pemakzulan Presiden Yoon adalah bukti bahwa suara warga dapat mengguncang istana. Tapi suara itu tidak akan berarti jika tidak disertai kesadaran, organisasi, dan keberanian. Korea Selatan sudah membuktikan bahwa civil society yang kuat adalah pilar demokrasi yang sejati. Ini bukan soal keberanian warga melawan otoritarianisme, ini soal kesadaran kolektif merebut kembali ruang publik, baik fisik maupun digital.
Kekuasaan yang menyimpang tak tumbang oleh elite, melainkan oleh publik yang terorganisir, kritis, dan berani bersuara. Dalam era networked politics, siapa yang menguasai wacana, dialah yang menentukan arah demokrasi. Indonesia harus sadar: jika ruang publik dibiarkan dikuasai oleh buzzer, propaganda, dan oligarki digital, maka demokrasi hanya akan hidup di atas kertas—tanpa nyawa, tanpa rakyat. (*)