Membaca tulisan wartawan senior Khairul Jasmi (KJ) berjudul Ranah Minang Seolah Keluar Dari Buku Sejarah di Singgalang.co.id, serasa membaca lembaran sejarah Barat pada masa kegelapan. Masa ketika pendidikan tidak diberi ruang untuk mengubah peradaban, karena cara berpikir telah dikuasai oleh otoritas teologis yang tidak boleh dibantah, apalagi diuji secara ilmiah atau tidak membangun kemoderatan dalam berfikir. Dalam suasana itu, berliterasi untuk membangun cara berpikir moderat terasa terabaikan karena seluruh jawaban dianggap sudah ditentukan oleh tafsir agama yang final dan tak perlu lagi disentuh.
Inilah persoalan dan fenomena dirasakan juga hari ini, ada kelompok-kelompok menekankan dominasi agama tanpa transformasi ilmu. Dimana ketika agama mendominasi ruang publik, pendidikan, dan cara berpikir tetapi tidak disertai dengan proses pemahaman agama secara ilmiah, kontekstual, dan progresif. Keunggulan tokoh-tokoh Minangkabau masa lalu mampu memantaskan hidupnya selaras dengan agama tanpa meninggalkan keilmiahan dan ilmu pengetahuan, karena ada keunggulan cara berfikir yang dibangun oleh tokoh itu.
Sebut misalnya Hatta, terkenal dengan rasionalitas sosialis yang religius. Dia membangun kekuatan berfikir moderat itu, dengan menguasai agama dan ilmu pengetahuan, kemoderatan berfikirnya diakui oleh akademisi, politisi, ekonom dan setersunya. Begitu pula dengan Tan Malaka, pemikiran moderatnya tersimpulkan dalam sintesis Islam, Marxisme, dan Pendidikan. Tan Malaka memperjuangkan pendidikan kritis dan kesadaran politik melalui Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Kemudian dalam Madilog ini terasa Tan Malaka membangun nalar rasional di tengah masyarakat yang taklid dan mistik, ia moderat dalam berfikir tidak anti agama. Tan Malaka juga sangat terkenal pengkritik praktik keagamaan yang mematikan akal.
Seterusnya dengan Agus Salim yang kita dijuluki sebagai ulama kosmopolit, dimana berpikir dan bergerak lintas batas geografis, budaya, dan intelektual, serta mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan wawasan global dan ilmu pengetahuan modern. Itulah kekosmopolitan Agus salim, pada masa itu. Agus Salim figur agamawan yang berinteraksi aktif dengan tradisi keilmuan di luar Islam, termasuk filsafat, sains, sastra, politik, dan peradaban global. Tidak tanggung-tanggung Agus Salim membangun kondisi itu dengan kekuatan-kekuatan wawasan global, setidaknya terlihat dari penguasaan bahasa dunia yang konon khabarnya Agus Salaim bisa 9 bahasa asing, terkenal sebagai seorang jurnal berisi, diplomat dan juga sebagai sorang agamawan.
Kita juga belajar kepada Hamka, tentu kita semakin menemukan lagi sebagai seorang ulama yang memiliki pemikiran yang moderat itu, dengan kemoderatan berfikirnya itu pula lahir Tafsir Al-Azhar, lahir buku-buku rujukan bernas dan buku-buku sastra yang sangat menumental. Tidak hanya itu Hamka, juga seorang jurnalis yang memiliki media Panji Masyarakat, tentu ini membuktikan bahwa kemoderatan berfikir Hamka telah mempengaruhi dunia Islam di Indonesia bahkan di Asia Tenggara dan dunia. Hamka juga kalau ditelisik dia merupakan penyemai Islam Inklusif, bukan Islam ekslusif berarti ia dapat kita temukan sebagai pemikir moderat.
Tentu dikalangan pendidikan kita juga mengenal banyak ulama-ulama yang menjadi pendesain keilmuan, tidak saja tentang pendidikan agama, malahan pendesain pengintegrasian pendidikan umum dan agama, serta bagaimana transformasi ilmu pengetahuan menjadikan pendidikan berkembang di negeri ini, sebut saja misalnya kita punya Abdullah Ahmad, Muhammad Syafei, Zainuddin Labay, Muhmud Yunus dan setersunya. Semuanya, juga meletakkan cara berfikir moderat yang dibangunnya dengan kesungguhan bukan dengan cara yang emon-emon.Begitu pula kalangan ulama-ulama legendaris mereka juga menyematkan dalam hidupnya berfikir moderat itu. Kemoderatannya dalam berfikir bisa kita lihat dari hasil karyanya tidak saja melalui buku-buku yang ditulisnya tetapi dari lembaga dan warisan-warisan kemajuan yang ditinggalkannya. Lihat misalnya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh M. Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa dan seterusya, sehingga diulama Minangkabau masa lalu itu kita belajar banyak tentang pemikiran, karya dan gerakannya. Tentu itu buah daripada pemikiran moderat yang dibangunnya
Begitu pula dikalangan perempuan tidak sedikit yang membangun cara berfikir moderat itu, kita bisa menemukan di sosok Rasuna Said, Rohana Kuddus, Rahmah El Yunisiah, Siti Mangopoh dan setersunya. Adalah perempuan-perempuan yang tidak ujuk-ujuk datang tanpa meracik kepalanya dengan berfikir moderat itu, mereka membaca, membangun diri dengan pendidikan baik formal maupun otodidak, sehingga mampu membawa sebuah pergerakan perubahan.