Tegasnya ABS-SBK tidak kemana-mana, norm adat untuk mengatur masyarakat adat sudah teruji sejak 6,5 abad lalu. Masuk ke UU, adalah sebagai penguatan saja secara legal formal. Dengan itu, Sumatera Barat, tidak akan membuat ABS-SBK baru meski sudah di bawa ke ranah dan paradigma politik. Paradigmanya adat saja sebagai kata ganti kebudayaan dengan semua sistemnya, karena memang dalam Bahasa Minang tidak ditemukan kata “budaya” yang ada hanya adat seperti djelaskan AA.Navis dalam bukunya Alam Terkembang.Pemangku adat (terdiri dari datuk penghulu serta bundo kanduang, ulama tokoh agama, cadiak pandai/ kaum intelekutal dengan kaum muda) pun senantiasa tetap dalam paradigma adat, tidak kemana-mana menafsirkan ABS-SBK., karena awalnya adat.
Fenomena konsistensi pemangku adat ini yang saya lihat dalam berbagai event dan forum adat senantiasa memelihara kondisi dinamis dalam masyarakat adat sebagai substansi Ketahanan Naional di daerah, adalah bagian pengalaman saya, hampir 25 tahun terakhir sejak tahun 1990-han menjadi narasumber adat.Adalah narasumber adat untuk pemangku adat se Sumatera Barat, dalam berbagai event dan forumnya seperti konsultasi, saksi ahli, diskusi, seminar dan lokakarya sebagai tahap “penyadaran” dalam kerangka pemberdayaan kehidupan bermasyarakat adat, berbangsa dan bernegara. Demikian pula dalam event diklat, workshop dan penataran penguatan kelembagaan adat serta penguatan peranan pemangku adat se-Sumatera Barat, pada tahap pembekalan dalam kerangka proses pemberdayaan masyarakat adat.
Hampir-hampir saya tidak mendengar pemangku adat bertanya nyeleneh seperti ke negara Islam, perda syari’ah lainnya, meski mereka bertanya dan diskusi a lot.Alotnya diskusi dan percakapan dalam berbagai event pemangku adat tadi, tidak bergeser dari kepastian arah, yakni hanya bagaimana adat jalan dengan baik, terwarisi kepada generasi muda nilai-nilai Minangkabau genius, sehingga anak bangsa ini beradat dan beradab.
Upaya tidak lain dalam urusan adat ini harus melaksanakan filosofi ABS-SBK, dengan dua filosofi SM-AM dan ATJG pada MHA di nagari-nagari Minangkabau.Artinya, pemangku adat ingin, masyarakat adat Minangkabau beradat dengan baik dan ta’at beribadat sesuai akidahnya. Sekaligus sebagai warga negara patuh dan taat hukum, melaksanakan peraturan perundang-undanan berlaku, karena memang diamanatkan dalam ayat-ayat ABS-SBK 15 pasal 90 ayat, tali tigo sapilin yang mesti dipacik (dipegang) orang Minang, yakni taat adat, agama dan taat hukum negara.Karenanya ABS-SBK tidak layak ditafsir ke mana-mana dan liar, lepas dari makna yang sebenarnya. Justru secara adat, masyarakat adat semakin kuat melaksanakan ABS-SBK, maka semakin taat hukum, penuh kekeluargaan, suka bermusyawarah dalam pengambilan mufakat (keputusan), seluruh konflik dapat diselesaikan dalam duduk bersama bermusyawarah. ***Penulis, Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sumatera Barat/ Alumni Lemhannas 1996