Pak Natsir, Buya Hamka, dan Etika Berpolitik

×

Pak Natsir, Buya Hamka, dan Etika Berpolitik

Bagikan berita
Foto Pak Natsir, Buya Hamka, dan Etika Berpolitik
Foto Pak Natsir, Buya Hamka, dan Etika Berpolitik

Oleh: Asro Kamal RokanSEORANG teman dari Malaysia, yang baru saja bertugas di Jakarta, mengaku sulit memahami berbagai karakter politik saat ini. Tokoh yang dahulu bermusuhan, tiba-tiba bersahabat. Dulu bersahabat, tiba-tiba bermusuhan. Tidak itu saja. Ia mengamati sejumlah partai berkoalisi bukan karena kesamaan platform, melainkan karena alasan pragmatisme.

Kepada teman Malaysia itu, saya mengatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya memiliki tradisi politik yang hebat. Warisan masa lalu, yang pantas menjadi contoh bagi siapa pun: politik yang indah, beretika.Mohammad Natsir contoh dari keindahan etika berpolitik itu. Sebagai pemimpin Masyumi, partai yang dibubarkan Soekarno, Pak Natsir biasa berdebat sengit dengan DN Aidit, ketua PKI. Ideologi keduanya sangat berlawanan.

Setelah bersitegang mempertahankan prinsip, keduanya minum teh bersama. ''Sebagai tokoh Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan pada pribadi,'' kata Pak Natsir kepada Editor, 23 Juli 1988.Begitu juga hubungan Pak Natsir dengan Bung Karno. Ketika Bung Karno dipenjarakan Belanda di Sukamiskin, Bandung, Pak Natsir menjenguk, membawa berbagai buku, dan makanan. Saat Bung Karno divonis, Pak Nasir membela Bung Karno dengan menurunkan tulisan Haji Agus Salim di Majalah Pembela Islam, yang dipimpinnya.

Perbedaan faham politik tidak menjadikan mereka bermusuhan. Ketika di Yogyakarta, Bung Karno sering pula mengundang Pak Natsir untuk sarapan pagi bersama di Gedung Kepresidenan. Kedua tokoh itu tidak menyimpan dendam. Teladan yang sangat indah untuk dicontoh.Setelah dipenjarakankan Orde Lama, Pak Natsir dibebaskan Orde Baru. Namun, Pak Natsir tidak mendapatkan kebebasan politik. Masyumi tetap juga dilarang. Bahkan, ulama dan cendekiawan santun itu dicekal Soeharto. Meski begitu, Pak Natsir tetap membantu Soeharto memulihkan hubungan dengan Malaysia, lewat suratnya kepada PM Malaysia, Tengku Abdurrahman.

Ketika pemerintah Soeharto kesulitan mendapatkan modal dari Jepang, Pak Natsir menulis surat kepada sahabatnya, Takeo Fukuda, perdana menteri Jepang saat itu. Atas saran Pak Natsir, Fukuda bersedia membantu Indonesia. "Beliau (Natsir) meyakinkan kami tentang masa depan Indonesia," tulis Fukuda dalam surat belasungkawa atas wafatnya Pak Natsir, 1993.Keindahan lain dapat diteladani dari Buya Hamka. Rezim Soekarno memenjarakan Buya Hamka pada 1964-1966. Hamka difitnah, dituduh pro- Malaysia, yang ketika itu dua negara tersebut berkonflik. Sastrawan besar ini tidak dendam pada Soekarno. Bahkan, Buya mengambil hikmahnya. Selama di penjara, ulama besar bersuara lembut ini justru berhasil menyelesaikan karya besar, Tafsir Al-Azhar.

Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Buya Hamka berdiri di depan dan menjadi imam shalat jenazah Soekarno. ''Saya telah memaafkannya. Soekarno banyak jasanya,'' kata Buya ketika itu dengan suaranya yang lembut.Kedua tokoh besar itu telah mewariskan etika dan keindahan berpolitik. Mereka berbeda pandangan dengan lawan politiknya, namun tidak membawanya ke wilayah pribadi, tidak menyimpan dendam, bahkan tetap membina silaturahim. Mereka merendahkan suara ketika berdebat keras. Mereka tidak menghujat dan merendahkan lawan politiknya.

Kedua tokoh tersebut mewariskan keindahan kepada kita. Warisan itu ibarat ribuan kuntum bunga di taman hati yang indah dan menyejukkan. Namun, ribuan kuntum bunga tersebut kita biarkan kering dan mati karena hati kita adalah tanah yang keras.Di tanah itu, kini, sekuntum bunga pun sulit tumbuh -- yang tumbuh subur adalah perseteruan dan kebencian.

Penulis: Mantan Pemred Republika dan Mantan Pemred LKBN Antara

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini