Paradoks Pilkada Kita

×

Paradoks Pilkada Kita

Bagikan berita
Foto Paradoks Pilkada Kita
Foto Paradoks Pilkada Kita

Oleh Asrinaldi A/Dosen Ilmu Politik Unand; Penulis Buku Sisi Lain PilkadaSepertinya tidak ada pengaruh Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini dengan semangat para calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada. Segala persiapan sudah dilakukan sejak tahun kemarin. Bahkan persiapan ini menggunakan uang yang cukup besar sudah mereka keluarkan. Paling tidak untuk bersosialisasi kepada masyarakat untuk membangun citra politik mereka.

Biaya yang dikeluarkan ini akan terus bertambah seperti untuk mendapatkan partai politik dan biaya untuk kampanye yang akan mereka lakukan. Memang KPU sudah memutuskan menggunakan media internet, termasuk media sosial untuk berkampanye pada Pilkada mendatang. Namun, KPU tetap memberi ruang kepada pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye langsung sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Bagaimana pun, tentu biaya kampanye ini tidak hanya mencakup bagaimana meyakinkan pemilih saja, tapi juga bagaimana menggerakan mesin politik partai atau membiayai relawan di lapangan. Tanpa biaya itu, sulit rasanya pasangan calon kepala daerah memenangkan Pilkada ini. Biaya ini akan terus bertambah, kalau pada akhirnya ada gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi. Pasangan calon kepala daerah tentu harus menghadapi kondisi ini dengan menyewa pengacara untuk beracara di pengadilan. Sebuah biaya yang sangat besar dan tidak semua calon yang akan sanggup membiayainya.

Paradoks ini sudah terlanjur terjadi sejak Pilkada langsung ini dilaksanakan tahun 2005. Pilkada yang diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas, ternyata masih sulit diwujudkan. Faktanya, banyak calon kepala daerah yang memiliki kapasitas untuk menjadi kepala daerah ini tidak mendapat perhatian partai politik hanya karena mereka tidak memiliki uang untuk menyiapkan logistik Pilkada. Jadi hanya mereka yang punya uang saja yang memiliki kesempatan untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Memang uang untuk berpolitik bukan satu-satunya faktor yang menentukan seseorang menjadi kepala daerah. Namun, faktanya setelah 15 tahun Pilkada langsung ini dilaksanakan, justru yang menang menjadi kepala daerah adalah mereka yang memiliki uang untuk membiayai setiap tahapan Pilkada yang dilalui.

Satu lagi, mengapa uang sangat dominan dalam Pilkada? Jika melihat kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sejak Pilkada langsung ini dilaksanakan, semuanya terkait dengan upaya kepala daerah mendapatkan uang dengan cara ilegal untuk menutupi biaya Pilkada yang mereka keluarkan. Bagaimana tidak, jika hanya gaji yang diharapkan oleh seorang kepala daerah, maka gaji lima tahun menjabat sebagai kepala daerah tidak akan cukup menutupi biaya Pilkada yang dikeluarkan.Paradoks lain dalam Pilkada yang juga perlu mendapat perhatian adalah tidak semua daerah yang memiliki kemampuan untuk membiayai Pilkada ini. Bukti terbaru, betapa sulitnya pemerintah daerah menegosiasikan biaya Pilkada ini dengan KPU Daerah. Apalagi jika daerah ini hanya mengandalkan DAU dan DAK dari pemerintah pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahannya. Misalnya, Provinsi Sumatera Barat adalah daerah yang jelas tidak memiliki jumlah uang yang banyak sebagaimana daerah lain. Daerah-daerah tetangga seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau jelas memiliki Dana bagi Hasil dan PAD yang sangat besar. Tentu pemerintah daerah ini tidak akan terlalu bermasalah untuk segera menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk pembiayaan Pilkada yang diselenggarakan.

Ini sangat berbeda dengan Provinsi Sumatera Barat dan daerah lain yang tidak memiliki DBH dan PAD yang besar ini. Bagaimanapun menggantungkan pembiayaan Pilkada kepada APBD tentu akan mengurangi dana pembangunan lainnya. Jadi Pilkada yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masih jauh dari realita yang sebenarnya. Memang pembiayaan Pilkada ini akan diserahkan ke APBN sudah lama diwacanakan oleh publik. Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah dan DPR belum mengubah UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada yang masih menyerahkan pembiayaan Pilkada pada APBD. Oleh karena itu, Pilkada langsung ini memang harus dievaluasi total, karena ternyata tidak semua pihak yang mendapatkan keuntungan dari Pilkada ini. Justru uang yang banyak beredar dalam Pilkada ini hanya menguntungkan para oligarki di partai politik, pengusaha, broker Pilkada, tim sukses dan kelompok tertentu yang memainkan peran langsung dalam Pilkada. Memang, sudah ada wacana dari Kementerian Dalam Negeri untuk melaksanakan Pilkada Asimetris pada masa  mendatang.

Sebenarnya, Pilkada Asimetris ini bukanlah hal yang baru bagi masyarakat, jika ingin dilaksanakan. Sebab dalam realitanya, Pilkada asimetris ini sudah dilaksanakan dalam pemilihan kepala daerah di Aceh yang melibatkan partai lokal. Begitu juga dengan pemilihan walikota dan bupati di Provinsi DKI Jakarta yang tidak melalui pemilihan DPR atau langsung, tapi ditunjuk langsung oleh gubernur. Pengangkatan langsung gubernur DI Yogyakarta yang memang diatur sendiri berdasarkan UU Keistimewaan DI Yogyakarta. Memang keunikan di Indonesia ini bisa menjadi dasar mengapa Pilkada asimetris ini harus dilaksanakan. Ditambah lagi Bawaslu sudah membuat Indeks Kerawanan Pilkada yang memang perlu menjadi pertimbangan oleh pemerintah. Ini dimaksudkan agar Pilkada langsung ini tidak menjadi masalah baru dalam proses konsolidasi demokrasi yang dilaksanakan.

Walaupun begitu, Pilkada 9 Desember mendatang sudah masuk agenda politik nasional dan harus dilaksanakan. Apa pun kelemahan dan tantangannya tentu harus dihadapi bersama. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini ancaman terhadap kesehatan, kenyamanan dan keselamatan peserta ada di depan kita.  Bagaimanapun penyelenggaraan Pilkada ini harus mengedepankan kesehatan, keselamatan dan kenyamanan bersama. Jangan sampai Pilkada ini menghasilkan malapetaka baru, tidak hanya karena pelaksanaannya yang sudah banyak menimbulkan paradoks, tapi juga dikhawatirkan mengorbankan nyawa manusia. (*)

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini