Pekerjaan Informal Lebih Disukai di Sumbar?

×

Pekerjaan Informal Lebih Disukai di Sumbar?

Bagikan berita
Foto Pekerjaan Informal Lebih Disukai di Sumbar?
Foto Pekerjaan Informal Lebih Disukai di Sumbar?

Dr Zulfan TadjoeddinPenulis buku “Employment and Re-Industrialisation in Post Soeharto Indonesia”, yang diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, 2018

“Sedikitnya pekerja formal di Sumbar bisa diketahui bahwa banyak orang Minang yang kurang menyukai bekerja sebagai pekerja formal yaitu buruh yang digaji dengan standar UMR (Upah Minimum Regional) dengan jam kerja yang sudah ditentukan/terikat (pagi – sore). Kebanyakan mereka memilih menjadi pekerja informal yang ingin punya jam kerja bebas, tidak mau terikat waktunya.” Begitu petikan tulisan Irwan Prayitno di Singgalang (4/11) menanggapi artikel saya tentang pengangguran dan kemiskinan di Sumbar yang beberapa minggu sebelumnya tayang di Langgam.id.Membaca kalimat Irwan di atas, ada dua hal yang perlu diluruskan.

Pertama, adalah keliru mengartikan pekerja formal sebagai buruh yang digaji dengan ‘standar’ UMR.Benar bahwa aturan UMR hanya berlaku di sektor formal. Ada mekanismenya. Tetapi, masih banyak employer yang mangkir dari kewajiban menerapkan UMR. Pengawasan masih lemah, demikian pula dengan kemampuan employer mengikuti UMR dalam pengupahan. Sedangkan di sektor informal, tidak ada mekanisme dan pengawasan penerapan UMR.

Sepertinya Irwan mengartikan sektor formal adalah seperti gambaran buruh pabrik garmen yang di biasa kita lihat di Tangerang, Depok, Bogor, Sukabumi dan Bekasi. Industri garmen bersifat “labour intensive”. Sektor ini memang cenderung menggaji buruhnya dengan menggunakan standar UMR.Tetapi, sektor formal jauh lebih luas cakupannya dari gambaran pabrik garmen tersebut. Sektor formal mencakup mereka yang bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di pemerintah daerah dan pusat, perusahaan sektor jasa seperti bank, asuransi, rumah sakit dan lain sebagainya, serta unit-unit usaha lintas sektor yang mempekerjakan karyawan tetap. Spektrumnya sangat luas.

Harus diingat pula bahwa, secara konsep, UMR adalah upah minimum untuk tujuan “safety net”, bukan “default wage”. Namun, sepertinya Irwan mengartikan UMR sebagai “default wage”.Kedua, Irwan berdalih bahwa warga Sumbar lebih memilih sektor informal karena mereka ingin punya jam kerja bebas dan tidak mau terikat waktunya. Ini seperti menjadi pembenaran akan rendahnya proporsi pekerja formal di Sumbar. Hal ini pun perlu diluruskan.

Rendahnya proporsi pekerja di sektor formal di Sumbar adalah karena tidak berkembangnya ketersediaan kesempatan kerja di sektor formal, yang merupakan akibat dari perekonomian yang tidak berkembang pesat atau stagnan.oOo

Apakah betul warga Sumbar kurang suka dengan sektor formal? Rasanya tidak demikian. Mari sedikit berandai-andai. Bayangkan jika gerai swalayan mini yang moderen berkembang pesat di Sumbar. Satu gerai membutuhkan sedikitnya enam karyawan untuk dua shift perhari yang akan mendapat upah sesuai UMR Sumbar yang sekitar Rp 2.5 juta itu. Mereka juga akan mendapatkan fasilitas kesehatan BPJS. Ini adalah satu contoh pekerjaan sektor formal.Bayangkan gerai-gerai itu masuk sampai ke kota-kota kecamatan. Saya yakin anak-anak muda Sumbar akan antri untuk melamar pekerjaan di gerai-gerai swalayan mini tersebut.

Persoalannya adalah kesempatan seperti itu tidak ada, atau tepatnya “belum ada”. Ekonomi Sumbar tidak berkembang pesat.Kenyataan di Sumbar adalah bahwa mendapatkan pekerjaan di sektor formal sangat sulit.

oOoBerikut satu contoh nyata dari Kabupaten Limapuluh Kota. Ada sebuah Puskesmas yang memperkerjakan 10 karyawan honorer yang terdiri dari 5 Tenaga Harian Lepas (THL) dan 5 tenaga sukarela. THL mendapat honor Rp 50 *ribu* per hari, atau Rp 1.25 juta perbulan. Tenaga sukarela menerima honor sekitar Rp 400-500 ribu per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan. Tenaga “sukarela” ini sering diplesetkan menjadi “suka bekerja, rela tidak dibayar”. Mereka ini berpendidikan D3 dan S1. Mereka sudah berkerja bertahun-tahun di Puskesmas tersebut. Bahkan ada yang sudah menjadi tenaga honorer selama lebih dari satu dekade. Mereka bekerja full-time, enam hari seminggu. Miris memang.

Ini adalah fenomena yang umum terjadi di puskemas-puskesmas di kabupaten tersebut. Bahkan mungkin di banyak Puskesmas di Sumbar dan di unit-unit pelayanan/kantor-kantor pemda yang lain.Mengapa mereka bertahan di pekerjaan dengan upah serendah itu? Pertama, mereka berharap untuk bisa naik kelas menjadi ASN. Kesempatan yang makin sulit diperoleh. Kedua, mengejar status sosial. Masak sudah berpendidikan D3 atau S1 tetapi di rumah saja, alias menganggur. Jadi tidak enak dilihat orang. Lebih baik bekerja kantoran dengan pakaian rapi, selalu pergi pagi. Hidup orang-orang seperti ini disubsidi oleh keluarga mereka.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini