Oleh: Indra Jaya Nauman
Kasus pendongkrakan nilai siswa di SMPN 1 Padang sempat menghebohkan dunia pendidikan dan masyarakat Sumatera Barat. Berita itu tampil di berbagai grup whats up dan media online. Juga menjadi berita hangat di berbagai media cctak dan jadi topik diskusi di berbagai televisi swasta, juga di DPRD Kota Padang. Bahkan, ombudsman Sumbar sampai turun tangan dan mendesak Disdik Sumbar menunda pengumuman hasil PPDB.
Banyak pihak yang mengutuk peristiwa tersebut, bahkan ada yang menuntut agar sang guru pendongkrak nilai tersebut dihukum. Anggota DPRD Kota Padang berkunjung ke sekolah tersebut untuk investigasi. Publik umumnya menyalahkan guru dan pihak sekolah. Tetapi, saya menilai bahwa kasus tersebut merupakan efek samping dari kebijakan pemerintah dalam PPDB. Sang guru merupakan korban kebijakan tersebut. (Saya tetap mengutuk perbuatan oknum guru tersebut.)
Saat ini, pemerintah menerapkan kebijakan dalam PPDB, melalui jalur zonasi dan jalur prestasi. Jalur zonasi adalah penentuan prioritas penerimaan peserta didik berdasarkan jarak tempat tinggal peserta didik dengan sekolah. Makin dekat jarak tempat tinggal peserta didik, makin dapat kesempatan untuk diterima. Sedangkan jalur prestasi adalah penentuan prioritas penerimaan peserta didik berdasarkan prestasi akademik (nilai). Calon peserta didik yang memiliki nilai tertinggi akan mendapat prioritas untuk diterima.
Kedua jalur PPDB tersebut mempunyai filosofi yang baik. Jalur zonasi bertujuan untuk melakukan pemerataan mutu sekolah, menghapus stigma sekolah vaporit di masyarakat. Sekaligus memberikan hak untuk menikmati fasilitas pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat yang terdekat dengan fasilitas tersebut. Sementara jalur prestasi merupakan pemberian penghargaan kepada peserta didik yang memiliki prestasi akademik (nilai) bagus.
Sayangnya, kedua jalur tersebut membulkan permasalahan (efek samping) di masyarakat. Jalur zonasi terlahir prematur karena pemerintah sendiri belum siap untuk melaksanakannya. Pendirian sekolah selama ini tidak memperhitungkan zonasi tersebut (terutama di perkotaan), Faktanya, saat ini terdapat beberapa sekolah negeri yang letaknya berdekatan dan terdapat beberapa pemukiman jauh dari sekolah negeri. Jalur prestasi merangking nilai peserta didik berdasarkan nilai dari sekolah asal, yang pelayanan, fasilitas, dan mutunya heterogen dan memiliki disparitas yang tinggi.
Masalah muncul pada calon peserta didik yang nasibnya kurang beruntung, bertempat tinggal jauh dari sekolah dan peluang untuk diterima di sekolah zonasinya sangat tipis. Begitu juga peserta didik yang ingin masuk sekolah idaman (vaporitnya) dan berada di luar zonasi. Satu-satunya peluang yang mereka harapkan adalah melalui jalur prestasi.
Untuk memenangi persaingan melalui jalur prestasi ini, ada sekolah “mencurangi” secara sistematis. Mereka “mengobral” nilai semenjak kelas awal. Tentu saja, banyak peserta didik mereka yang diterima melalui jalur prestasi. Oknum guru di SMPN 1 Padang mungkin juga ingin berbuat demikian. Cuma, tidak sistemik (terlambat), sehingga ketahuan dan jadi ribut.
Saya tidak bermaksud membela oknum guru SMPN 1 Padang tersebut. Cuma, jika kondisi (kebijakan PPDB) tidak dibenahi, maka kasus serupa (obral dan dongkrak nilai) akan selalu terjadi yang akan merusak sendi-sendi pendidikan kita. Tentu, para ahli dan pembuat kebijakan lebih tahu tentang hal ini. Namun, ide berikut mungkin perlu dipertimbangkan. PPDB cukup memakai satu jalur, yaitu jalur zonasi tanpa jalur prestasi. Hanya saja, pemerintah provinsi dan kota/kabupaten harus menjamin bahwa semua calon peserta didik dapat ditampung pada sekolah zonasinya. Tentu saja, pemerintah provinsi, kota dan kabupaten harus membangun USB pada zona tertentu, atau menambah RKB, atau jika memungkinkan menetapkan sekolah swasta tertentu, yang memenuhi syarat dan bersedia dijadikan sekolah zonasi.
Bagaimana dengan calon peserta didik yang memiliki kecerdasan (prestasi akademik) istimewa? Mereka, para calon peserta didik yang tergolong “Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) harus diberikan pelayanan yang istimewa, yang mampu mengembangkan potensi kecerdasan intelektual mereka. Sebab, jika peserta didik yang CIBI dilayani secara rata-rata, yang tidak mengembangkan potensi yang mereka miliki, berarti pemerintah telah menzalimi mereka, dan bangsa kita akan mengalami kerugian yang luar biasa. Caranya, adalah dengan mendirikan sekolah khusus bagi mereka, yang bebas dari zonasi, dan untuk diterima di sekolah tersebut berdasarkan prestasi yang jelas dan terstandar. Sebab, PPDB melalui jalur prestasi seperti sekarang, yang tidak jelas standarnya, adalah sebuah kepura-puraan yang menggoda orang tua, guru, dan sekolah untuk berbuat curang.
Apakah pemerintah provinsi dan pemerintah daerah mau dan berani? Entahlah … Punya usulkan boleh-boleh saja! (***)