Pengalaman Pelajar Yari School di Chemnitz

×

Pengalaman Pelajar Yari School di Chemnitz

Bagikan berita
Pengalaman Pelajar Yari School di Chemnitz
Pengalaman Pelajar Yari School di Chemnitz

 [caption id="attachment_16923" align="alignnone" width="650"]Pelajar Yari School jelang perjalanan ke timur Jerman, Chemnitz. (*) Pelajar Yari School jelang perjalanan ke timur Jerman, Chemnitz. (*)[/caption]

PADANG - Dengan bendera merah putih di dada kanan dan bendera Jerman di dada kiri yang tertera di atas jas almamater hitam yang tengah dipakai, kami siap menempuh perjalanan sejauh lebih dari 10.000 km dari tanah air.Sebanyak 22 pelajar Yari School yang akan bertolak menuju Kota Chemnitz, Jerman untuk program pertukaran pelajar berkumpul di Bandara International Minangkabau (BIM) pada 4 September 2015. Kami bangga bukan hanya karena keberangkatan menuju negara maju itu. Tapi kami bangga karena perjuangan  jauh sebelum keberangkatan itu.

Tiga bulan sebelum keberangkatan, kami sudah mulai mempersiapkan diri secara intensif untuk pertukaran pelajar ini. Mulai dari mempersiapkan bahasa Jerman, memfasihkan bahasa Inggris yang kami miliki baik dari segi grammar  maupun  pronunciation dengan bantuan para guru di Yari School, mempersiapkan bahan presentasi tentang Indonesia, Sumatera Barat dan Yari School.Lalu mempersiapkan penampilan kesenian daerah untuk partner school dari Yari school yaitu Dr.-Wilhelm-André-Gymnasium yang dimentori Miss Dita dan Miss Susi, guru kesenian kami dan bantuan pengajar dari sanggar tari yang sudah terkenal di Sumatera Barat.

Mempersiapkan penampilan band Yari School dengan dimentori guitaris salah satu band ternama di Padang sekaligus guru seni di Yari school yaitu Mr Febby serta mempersiapkan permainan piano dan alat musik tradisional  dan berlatih vokal untuk menyanyikan lagu daerah maupun mancanegara yang akan kami tampilkan nanti. Dan pastinya kami mulai aktif berkomunikasi dengan keluarga angkat kami selama di Jerman.Untuk tarian, kami mempelajari lebih dari tiga tarian daerah yang tersebar di seluruh Indonesia baik Indonesia bagian barat juga timur. Kami menampilkan Tari Saman, Tari Orlapei, Tari Rantak, dan Randai. Masing – masing memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. “Jam berapa pulang?” menjadi sebuah kalimat sakral bagi kami sebelum memulai latihan tari tersebut. Biasanya salah satu murid akan bertanya kepada guru yang bertanggung jawab mengawasi proses latihan tari kami tersebut dikarenakan waktu latihan yang dilaksanakan pada saat bulan puasa.

Setiap jenis tari yang kami pelajari memiliki cerita unik tersendiri. Mulai dari Tari Saman yang muridnya susah diatur sampai pada Randai yang muridnya selalu bertanya “Bang Ihsan datang, Miss?”, yang merupakan pelatih randai kami.Setelah selesai dengan urusan tari kami menghadapi masalah baru yang harus kami selesaikan yaitu makeup dan costume. Belajar make up dari nol, karena kebanyakan siswi masih banyak yang “buta” terhadap kosmetik yang akan di gunakan, sehingga hasil make up mereka lebih mirip badut daripada penari.

Namun atas bimbingan guru dan orang tua kami di rumah masalah ini pun dapat terselesaikan. Lalu untuk costume ,kami diharuskan belajar cara berganti baju tari dengan waktu yang singkat. Pada awalnya banyak kejadian yang membuat kami tertawa, seperti selendang pada Tari Saman yang terbuka secara tiba – tiba sampai celana galembong untuk randai melorot saat latihan bahkan ketika kami gladi resik.Kami juga mempelajari budaya dari masyarakat Jerman dengan narasumber Dr. Yusticia Katar, Ketua Yayasan Anak Republik Indonesia (YARI) yang notabene pernah tinggal lama di Jerman. Semangat kami semakin terbakar setelah diberitahu tentang negara maju tersebut.

Terbesit di pikiran kami tentang cara hidup mereka yang sudah lebih maju dan lebih cinta lingkungan daripada kita yang memiliki sumber daya alam melebihi mereka. Atas dasar itulah muncul sebuah misi baru di benak kami saat berada di negara maju tersebut yaitu “revolusi mental”.Misi tersebut kami pikirkan karena mengingat bagaimana rusaknya mental generasi muda sekarang yang sudah mulai tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya sehingga menurut kami revolusi mental ini harus kami jalankan, baik untuk diri kami masing - masing maupun untuk masyarakat lingkungan sekitar kami dengan mengacu kepada cara masyarakat Jerman itu.

Kami bertekad untuk membawa perubahan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan juga lingkungan kami berdasarkan apa yang akan kami dapat di Jerman. Perubahan tersebut tentunya akan kami aplikasikan kepada diri kami sendiri terlebih dahulu baru kepada lingkungan sekitar kami.Setelah 3 bulan penuh berjuang, akhirnya kami siap untuk bertolak menuju Jerman di awal September 2015 yang akan menjadi awal cerita unik di negeri Deutschland . (Afif Bareski Demayora)

  

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini