Oleh Dharmansyah
Beberapa hari lalu, Singgalang sempat melakukan kontak telepon dengan Syilvia, anak keenam dari tujuh bersaudara itu. Banyak yang dia ceritakan. Mulai dari kali pertama masuk kerja, hingga harus menjalani karantina.
“Saya bekerja di perusahaan asing. Cukup lama. Kurang lebih empat tahun. Sebagai karyawan, kami mendapatkan fasilitias yang jauh lebih dari cukup. Ada rumah, tinggal menempati. Sudah ada peralatan dapurnya. Bahkan hingga ke mesin cuci. Ya, Alhamdulillah.”
“Masalah kesehatan karyawan benar-benar diperhatikan betul oleh pihak perusahaan. Ya, barangkali karena perusahaan tempat kami bergantung hidup itu juga bergerak di bidang kesehatan. Yaitu, memproduksi alat-alat kesehatan,” katanya.
Sejak Pandemi Covid-19, kata Syilvia, perusahaannya memperketat pergerakan para karyawan. Mereka dilarang melakukan plesiran, sesuatu yang sering mereka lakukan di akhir pekan atau saat liburan.
Hak cuti pun tidak diberikan perusahaan, kecuali karena sesuatu hal yang sangat penting dan mendesak, misalnya menemui orangtua yang lagi sakit.
Tegasnya, karyawan tidak boleh terpapar oleh yang namanya Corona Virus Disease (Covid-19) tersebut. Jika terpapar juga, ya, terpaksa harus di karantina. “Seperti yang saya jalani sekarang,” sebut Syilvia.
Ia sama sekali tidak menyangka dirinya ikut terpapar. Pasalnya dia tidak merasa ada keluhan soal kesehatan.
“Saya merasa sehat-sehat saja. Penciuman masih baik dan lidah pun masih bisa merasakan enaknya masakan,” ujarnya.
Dugaannya, ia terpapar virus corona dari salah seorang temannya yang baru kembali dari cuti. Jadi, sesuai ketentuan perusahaan, setiap karyawan yang hendak kembali bekerja, terlebih dahulu harus ikut tes swab.
Dari hasil tes swab itulah sang teman dinyatakan telah terpapar oleh virus corona. Guna menghindari terjadinya klaster baru, pihak keperusahaan lalu melakukan trakcing kontak. “Dan, saya adalah salah seorang diantaranya yang sempat melakukan kontak erat dengan teman yang positif tersebut,” ungkap Syilvia lagi.
Walau tidak merasakan sesuatu gejala, Syilvia pun melaksanakan tes swab dan, ternyata hasilnya positif. “Saya tidak pernah membayangkan akan terkena virus corona. Apalagi saya merasa selalu disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Mulai dari memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan, hingga menjaga jarak,” tukasnya.
Virus corona, kata Syilvia, ternyata benar-benar sangat mudah penularannya. Pantas saja banyak orang merasa takut, seperti yang juga dia rasakan. Dan, walaupun hanya sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG), dirinya tetap berbahaya buat orang yang lain. Makanya, dia harus dikarantina.
Hidup dikarantina benar-benar sangat tidak nyaman. “Walaupun ditempatkan di tempat dan dengan fasilitas yang layak dan, semua kebutuhan disediakan perusahaan, saya tetap saja merasa hidup dalam penjara,” tutur Syilvia.
Di awal-awal, Syilvia merasa kesepian. Untung ada android, sehingga dia bisa menghibur diri, yaitu dengan membaca dan menonton sesuatu yang bisa sedikit menghilangkan rasa suntuk.
Suntuk dan bosan terus bergayut dipikirannya. Dia rindu bertemu keluarga. Terutama ibu, bapak dan saudara-saudaranya di kampung.
Rasa rindu berkumpul bersama keluarga tersebut terus memuncak. Saking rindunya, Syilvia pun kerap meneteskan air mata. Air matanya benar-benar tidak terbendung, ketika Sabtu lalu mendapat kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit.
“Ibu saya sekarang tengah di rawat karena sakit. Saya benar-benar sedih. Saya harus bagaimana. Saya tidak tahu. Saya terkurung. Ibu dan bapak saya tidak tahu tentang apa yang saya alami sekarang,” ujar Syilvia dengan suara terbatah-batah dibalik gagang telepon.
Syilvia menyebutkan bahwa dia memang sengaja untuk tidak memberitahukan kepada kedua orangtuanya tentang dirinya yang terkena corona. “Saya tidak mau menambah beban pikiran mereka. Kasihan, mereka sudah pada renta,” ujarnya.
Guna menghibur ibu dan bapaknya, Syilvia sempat beberapa kali video call, yaitu dengan handhpone salah seorang kakaknya yang di kampung. Di hadapan ibu dan bapak, dia berusaha untuk tetap tegar dan bersemangat.
Sekarang, Syilvia masih di karantina. Sementara ibunya terkapar di rumah sakit. Berat memang cobaan yang harus dia terima. Sekaitan itulah, dia berpesan kepada kita semua agar tetaplah disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan. Sebab, virus corona itu benar-benar ada dan sangat mudah penularannya. (*)
Komentar