Secangkir Kopi di Van der Capellen

×

Secangkir Kopi di Van der Capellen

Bagikan berita
Foto Secangkir Kopi di Van der Capellen
Foto Secangkir Kopi di Van der Capellen

[caption id="attachment_77468" align="alignnone" width="650"] Pengunjung menikmati jajanan di Pasar Van der Capellen. (*)[/caption]Oleh; Khairul Jasmi

Saya datang di ujung keramaian, Van der Capellen, sudah mulai sepi, Ahad (10/3). Pasar di tempat paling tinggi di jantung Batusangkar ini, diserbu warga sedari pagi dan berakhir menjelang siang. Tiap Ahad.Emak-emak berjualan kiliner yang jarang bersua. Di benteng ini, pemuda berpakaian tempo dulu, terlihat hilir mudik. Pedagang berbaju kurung, menyapa dan tersenyum, menyeret suasana ke masa lalu.

Inilah pasar sekali sepekan yang tumbuh karena ide kreatif. Semua tamu penting pemerintah di Tanah Datar diajak ke sana. Wisatawan diajak mampir, mencicipi jajanan tempo dulu.Saya memilih satu meja daru bambu dengan atap rumbia. Meja berkaki empat dengan bangku-bangku panjang itu, kokoh. Kami menikmati sepiring sate kuah kacang dari Nagari Labuah dan palapeh padeh, kacimuih dan secangkir kopi dari Salimpuang yang diracik. Kopi disajikan dengan wadah tempurung bermuka dua, yang dijalin dengan rotan. Satu muka untuk wadah kopi panas, yang satu untuk kaki gelasnya. Diberi tangkai nan indah. Kopi itu terasa nikmat sembari menikmati pemandangan, dengan latar belakang gunung Marapi. Selain kopi dari Salimpuang, juga ada kopi dari Lasi. Kopi arabika ini, digiling di depan konsumen.

Apa saja yang dijual di sini? Emak-emak Luhak Nan Tuo, menggaleh: kue talam, bubur kacang padi, katan hitam, bunur putiah, kolak pisang, cindua, kampiun. Juga ada bika, godok basaka, kalamai goyang, nasi padeh, lopis, silamak sari kayo, bubuah samba. Berikut lapek pisang, onde-onde, sarabi, kacimuih, tumbang ubi, lapek baluo. Juga ada tahu balemak, sate katidiang basandang, karupuak kuah, sate tahu, onde-onde ubi, kue pelangi, tumbang ubi jala, lamang ubu gulo anau, lamang, jaguang manih, martabak, pisang kapik, lapek jaguang manih, lapek bugih, lontong gulai, lapek baluo. Berikut nasi goreng, mi girong, sarikayo, lapek atun. Tentu saja berbagai jenis kopi lokal.Semua itu ludes menjelang pukul 11 atau 12 siang. Konsumen sebelum masuk membeli koin terlebih dahulu dan berbelanja memakai koin tersebut. Rata-rata sepagi Minggu itu jual beli Rp13 jutaan. Jika lagi ramai tiap pedagang bisa membawa Rp2 juta pulang.

Pasar zaman saisuak itu, merupakan sumbangan anak-anak muda Tanah Datar untuk wisata Luhak Nan Tuo. Meski belum tersentuh APBD, mereka tak berkecil hati, tiap pekan selalu ada pertunjukan. Mereka patungan jika ada biaya keluar. Kalau makan memasak dan ramai-ramai menikmati sajian yang mereka buat sendiri.Saya yang datang di ujung waku, menyaksikan satu demi satu pedagang balik pulang membawa wadah kosong dan uang di saku. Pekan depan hal itu diulang lagi.

Pasar nyentrik ini dikeleloa dengan penanggung jawab, Hijrah Adi Sukrial, Juragan Pasar Ade Firman, Manager Keuangan Ibnu Fajrin, Koordinator Perlengkapan dan Umum, Ari Bonanza, Koordinator Online, Wilma Prima, Koordinator. Desain, Alwidio Petra, Koordinator Acara, Ira Oktaviani, Koordinartor Keamanan, Raidi Hermanto.Anggota, Mulia Akbar, Pipo, Dwiputra, Azhari Hamka, Ratu Nuraini, Ike Rahmadhani, M Akbar Fitrio, Rizka dan Fadilul Khair. Mereka anak-anak muda yang saat saya mau pergi, masih berpakaian tradisional.

Pekan depan pasar nyentrik ini akan ramai kembali. Ayo ke Van der Capellen, benteng peninggalam zaman Belanda. Doeloe dari jauh benteng ini terlihat seperti sangkar. (*)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini