Sepotong Kisah dari Desa: Wak’fu Was Fahu

×

Sepotong Kisah dari Desa: Wak’fu Was Fahu

Bagikan berita
Foto Sepotong Kisah dari Desa: Wak’fu Was Fahu
Foto Sepotong Kisah dari Desa: Wak’fu Was Fahu

Khairul JasmiPagi jatuh lembut dalam pelukan lembah-lembah di kampungku, sejuk telah berputik pada tangkai waktu yang belum sempurna. Fajar memulai kisah di awal Syawal, sepotong kisah yang tak ada pada bulan lain. Inilah pagi, yang paling sibuk di rumah, di jalan dan di pancuran, tempat air selalu mengalir tak henti siang dan malam.

Suara takbir itu, bagai sayap elang merobek awang-awang, suara yang sama yang diantarkan setiap pagi, setiap tahun, pada waktu seperti sekarang. Hari kebahagiaan di desa ini kami genggam sejak pagi itu, setiap orang melakukannya. Setiap orang yang sama, mandi dengan riang, diguyur mata air dari gunung, yang berdiri gagah, yang kami takuti sekaligus dikagumi. Inilah hari penduduk desa menyabuni dirinya dengan sabun harum yang kemarin baru dibeli. Semua mengenakan pakaian terbaik, yang kesemuanya di dobi.Pagi telah amat sempurna dengan secangkir kopi dan lontong yang enak, kuahnya begitu nikmat karena dibumbui dengan santan kelapa tua. Lontong ketupat itu, dihidangkan di piring tanah putih berbunga rose berwarna merah. Piring yang hanya beberapa kali dalam setahun dikeluarkan. Ibu-ibu kami memakai kain panjang motif kacang goreng, dengan talakuang putih terbaik. Anak-anak gadis kampung kami sedemikian pula, sedang anak bujang gagahnya, seperti ayam jantan yang kokoknya nyaring, memakai kupiah belundru hitam, yang bagian dalamnya dijahit silang-bersilang dan membentuk segi tiga banyak. Ayah-ayah kami, yang lebih banyak diam, menyimpan rasa haru dengan caranya sendiri, sebuah cara yang tak tertirukan.

Lalu cahaya matahari berpender jinak, menyapu dengan sempurna kampung kami, memberi sinar ultraviolet pada setiap orang. Semua orang melangkah ke masjid, rumah ibadah yang dibangun warga kampung ini, bata demi bata, yang diperkaya dengan bantuan perantau. Para perantau itu, tak kaya-kaya benar, namun cintanya pada kampung, tak tertandingi. Mereka banyak yang pulang kampung, membawa kisah bahagia, yang mereka buat di rantau, alami atau instant. Mereka adalah ujung kisah surau dan lapau kami.Tuan, ini kisah orang-orang sederhana, yang meletakkan Hari Raya Idul Fitri pada rak terbaik dalam tatanan sosial mereka. Itulah sebabnya, semua serempak datang ke masjid, dalam rombongan-rombongan kecil, dalam rangkah pendek-pendeknya dikumandangkan takbir, yang menggema lalu kemudian menyatu di tumporo, pintu utama memasuki halaman masjid. Nama masjid kami dipungut dari khasanah islami.

Ulama tradisional kami, kala menjadi imam, lain iramanya, namun syahdu. Liukkan iramanya, serumpun dengan irama-irama mengaji kaum tua. Khutbah oleh imam kampung ini, tak sehebat di kota, namun ia menangis ketika di atas mimbar, tangis orang tua yang selalu membuat kami runduk. Ketika prosesi Shalat Idul Fitri selesai, kami belum pergi, tapi bersalaman satu sama lain, yang kaum ibu kami membungkus tangannya dengan talakuang. Mukenah itu, yang menutupi tangannya, masih tersisa panjang dan menjuntai di ujung tangannya. Yang paling syahdu adalah, kami berebut bersalaman dengan ulama tua yang tadi jadi imam tadi. Ia berdiri di pintu masjid, melayani semua jemaah.Doa urang siak

Di gerbang masjid kami bersibak, melangkah ke rumah masing-masing. Pagi itu, belum tiap rumah berdoa, karena urang siak tak sebanyak rumah. Urang siak itu, akan dijemput dan naik dari rumah ke rumah. Ibu-ibu kami duduk dalam simpuh yang sempurna, menyuruh urang siak untuk makan. Ia memakan nasi yang masih hangat, asap putihnya mengambang di udara. Semua hidangan untuk dia, ayam gulai dan randang terenak dari dapur Minangkabau. Goreng belut, goreng ayam, serta acar yang dibuat khusus. Sehabis makan, ibu-ibu kami menyuguhkan raga-raga, gelamai yang disayat segi tigaserta kue-kue, yang dibuat dengan tangan dan cetakan sendiri. Ketika semua prosesi itu selesai, urang siak akan berdoa dan se-isi rumah akan mengangkat tangan, selama apapun doa dipanjatkan. Sebelum berdoa, nenek yang duduk di sudut, meminta agar didoakan arwah oang-orang terdahulu, guru-guru dan semua alim ulama, serta usaha anak cucunya di kampung dan di rantau diredhai Alah, sebuah permintaan yang tulus. Aminnya serentak. Doanya dua kali, doa panjang dan doa pendek penutup. Pada dasarnya ketika doa selesai, maka semua proses ritual hari raya sudah selesai.Meski sudah selesai, ada yang baru dimulai, yaitu botol kue-kue dan kacang goreng dibuka. Botol kaca itu, dengan tutup kaca bulat bertampuk bulat itu, menjadi bunga dalam hidangan hari raya. Sebentar lagi dunsanak akan naik, biasanya mereka takkan makan, tapi mencicipi hindangan itu saja. Kemudian bermaaf-maafkan. Fa’fu was fahu (maaf dan lupakan jangana da dendam yang disimpan). Anak-anak, bak kijang lincah di sini, datang silih berganti, sekadar menyapa dan menikmati hidangan.

Kata fa’fu was fahu itu telah diucapkan ribuan kali sejak pagi tadi, lancer saja di lidah siapa saja. Dan pagi ini, siapa di antara kami, telah fitri, antara lain, karena sudah membayar zakat fitrah yang tunai dilakukan dengan memberikan beras dan uang ke petugas di masjid.Ketika Zuhur telah datang, banyak di antara kami yang kelelahan, bahkan tertidur, namun tidak kaum ibu. Mereka bagai angsa datang ke masjid, karena sudah bermukenah sejak dari rumah, yang berjalan menatap ibu jari kaki.

Puasa enamPada lembah lain di kampung kami, otang tua-tua yang sedang bersuluk, selesai pula melaksanakan shalat Idul Fitri, sehari itu mereka tidak berpuasa, namun besok, mereka kembali lagi ke dalam kelambu menyendirinya, untuk melanjutkan ke puasa enam, setelah itu baru berhari raya. Puasa enam di sini, tak semua yang menunaikannya, namun yang sudah berumur rata-rata menjalankannya. Setelah selesai, mereka berlebaran lagi, bahkan ada yang saling mendatangi rumah. Surau tak banyak di kampung ini, namun ada. Surau adalah milik ulama dan ulama bersurau.

Sementara puasa enam dilaksanakan, kaum mudanya melanjutkan suasana lebaran di lapau sambil main domino atau menikmati kopi dan teh telur yang telurnya dari ayam kampung kami juga. Ketika itulah kemeriahan lain muncul, anak-anak muda kami akan bertandang ke kota untuk sekadar cuci mata dan mungkin membuat janji bersama kekasihnya.Di lapau, perantau menjadi “tuan rumah” untuk semua gelas kopi dan mamak-mamak mereka akan bertanya “kapan balik ke rantau.” Para perantau itu sendiri, berkisah dan bila waktunya tiba, ia kembali pergi dengan lambaian yang datang dari hati. Kisah perantau itu selalu memukau, meski hidup mereka ada yang sememukau kisah tersebut. Ada yang pergi sendirian, bersama perantau pemula, bahkan pergi dengan membawa istri, dalam suasana pengantin baru.

SandiwaraInilah moment bagi anak sekolah dan mahasiswa yang berjiwa seni untuk melaksanakan acara Sandiwara. Tiga hari dengan tiga judul sandiwara tiga babak. Mereka telah latihan sepanjang Ramadhan. Kami akan membayar masuk. Setiap panitia memakai pita merah yang dipenitikan di baju sebelah kiri. Selain sandiwara tiga babak yang direklamekan dengan mobil pickup dan meminjam mik masjid ke desa-desa tetangga, pemuda terdidik ini juga akan menyuguhkan tari-tarian dan lagu dengan musik hidup. Tentu saja lelang kue.

Sandiwara tiga babak itu, telah menjadikan sebagian kami anak desa sebagai aktor dan pemaian kawakan untuk kelasnya. Biasanya, nama aktor dalam sandiwara itu akan lekat begitu saja pada nama pemainnya, sebagai sebuah sapaan.Sebulan kemudian, kampung ini senyap lagi, sesenyap 10 bulan sebelumnya. Waktu kembali berputar seperti sediakala. Hal itu berlangsung berpuluh-puluh tahun, sebuah kemeriahan yang terbeli dan tak dijual.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini