Suami Meliput ke Ruang Isolasi, Isteri Harap-harap Cemas

×

Suami Meliput ke Ruang Isolasi, Isteri Harap-harap Cemas

Bagikan berita
Foto Suami Meliput ke Ruang Isolasi, Isteri Harap-harap Cemas
Foto Suami Meliput ke Ruang Isolasi, Isteri Harap-harap Cemas

Oleh YunismaDengan menggengam kamera, wartawan itu bergerak langkah demi langkah, seperti menginjak awang-awang. Ia memang bagai astronot. Pria itu sedang melakukan liputan di ruang isolasi. Sang wartawan sambil mengambil gambar ruang isolasi, pasien yang sedang dirawat dan tenakes yang tak pulang-pulang di RSAM Bukittinggi.

Beberapa jam kemudian, nun di sebuah rumah sewaan, di Padang, istrinya, seorang wartawati, mengenggam jemarinya sendiri. Dingin. Ia ingin berteriak, darahnya naik ke ubun-ubun. Ia ingin terbang, ia ingin menghempaskan semua piring, daun pintu, meja. Merentak, marah. Dadanya sesak. Ia teramat takut, si kenapa si wartawan harus masuk ruang isolasi. Sok-sok hebat.Duo jurnalis ini adalah suami-istri, yang merajut hari demi hari dengan meliput Covid-19. Suami-istri ini, punya beberapa anak. Jika saja, salah seorang dari mereka kena Covid, maka nestapa akan merajam anak mereka.

Itulah kisah saya. Saya dan suami sama-sama berprofesi sebagai jurnalis. Saya jurnalis cetak sedangkan suami jurnalis televisi nasional. Ketika wabah Covid-19 melanda, wartawan cetak mungkin bisa menghubungi nara sumber via telepon. Tentu tidak untuk jurnalis televisi.Saya pun wanti-wanti kepada suami untuk tidak mengambil gambar di rumah sakit atau meliput pasien-pasien positif Covid dari jarak dekat. Karena terlalu tinggi risikonya. Dia pun mengiyakan apa yang saya sampaikan.

Suatu hari, dia mengirim pesan via WhatsApp. "Ayah baru dari RSAM. Masuk ruang isolasi ambil gambar. Ayah tidak bisa pulang dulu. Harus isolasi. Baru bisa pulang setelah swab keluar," kata suami saya yang wilayah kerjanya di Bukitinggi dan sekitarnya.Kontan saja darah saja naik ke ubun-ubun, karena ayah dari anak-anak saya melanggar kesepatan yang kami buat. Saya langsung menelepon dan mencak-mencak padanya. Dia diam. Setelah semua amarah saya tumpahkan baru dia bicara.

"Alah buliah ayah ngecek," kata dia diujung telepon.Saya hela napas panjang-panjang. Dia pun membeberkan alasan masuk ke ruang isolasi yang paling ditakutkan banyak orang. Dijelaskannya, masuk ke ruang isolasi, tidak sembarang masuk saja, tapi harus menggunakan strategi. Sama dengan perang, jika tak pakai strategi bisa mati, kata dia menjelaskan.

Senjata untuk melindungi diri dari virus tak terlihat itu salah satunya APD lengkap. Kemudian mengikuti semua protap yang diarahkan petugas kesehatan. Tak boleh menyentuh apa pun dalam ruangan. Benar-benar harus ekstra hati-hati. Sedikit saja menyentuh, tinggi resikonya.Sebelum masuk ruang isolasi, suami saya meminta penjelasan dari dokter Deddy Herman, spesilis paru RSAM, agar aman keluar masuk ruangan horor itu. Mereka sering berdiskusi tentang penanganan permasalahan Covid-19. Baik di Sumbar maupun di ibukota negara.

Suami saya pun sempat memajang foto di status WA nya yang sedang sedang menjalani swab. Saya dan keluarga lain protes, sebab ketika itu swab menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Foto itu pun kemudian dihapus.Jurnalis televisi dalam menjalankan tugasnya tak bisa diwakilkan lewat telepon, seperti media cetak. Mereka harus datang ke lokasi untuk mendapatkan gambar. Apa pun risikonya. Dalam situasi normal saya bisa memaklumi namun belum ketika itu. Saya sempat melontarkan kalimat, apa dia ingin mendapat puja-puji sebagai pahlawan covid? Dia membantah dan menjelaskan apa maksud dan tujuan masuk langsung ke ruang isolasi tersebut. Dari ruang isolasi itu dia mengetahui seperti apa perjuangan pasien untuk sembuh dan bagaimana tenaga kesehatan keluar masuk ruang isolasi. Bagaimana nakes itu bekerja mempertaruhkan nyawa. Harus dibungkus APD level III, selama berjam-jam agar tidak terpapar Covid-19. Selama di ruang isolasi, nakes tidak makan dan minum bahkan harus menahan buang air kecil dan besar. Sebab, untuk membuka APD harus dengan sangat berhati-hati. Jika tidak, Covid-19 menanti.

Selesai suami saya bercerita, barulah saya bisa menerimanya. Dia bukan untuk pamer apalagi untuk mengisi konten youtubenya agar menjadi viral ketika itu. Saya pun mengalah dan dia pun menjalani isolasi mandiri di sebuah tempat sampai akhirnya hasil swab keluar.Butuh waktu sekitar lima hari baru hasil swab keluar. Saya menghubungi dokter Andani, kepala labor Unand. Biasanya cepat mendapat respon dari dokter yang super sibuk sejak Covid-19. Saya minta tolong kepadanya agar hasil swab bisa diketahui sesegera mungkin. Namun, tidak juga ada respon. Hati saya mulai was-was. Pikiran berkecamuk. Jika positif, pasti akan tercatat sebagai jurnalis pertama di Sumbar yang terpapar. Akan beragam komentar orang. Jika positif pastilah terpapar saat masuk ke ruang isolasi. Sampai akhirnya hasil tes swab keluar: negatif. Kontan saja saya dan keluarga berucap syukur. Alhamdulillah.

Begitulah, sesak napas menjalani profesi selama wabah Covid-19 melanda. Namun, lebih sesak lagi napas para petugas kesehatan. Mereka harus berjuang menyelamatkan pasien, menjaga diri dan keluarga agar tidak terpapar virus menular tersebut.Jika saya hanya merasakan sekitar satu minggu harus berpisah dari suami karena menjalani isolasi, para nakes di masing-masing rumah sakit berbulan-bulan lamanya tak pernah pulang. Beruntung kecanggihan telkonogi, mampu melepas rasa rindu pada istri, suami, anak-anak dan keluarga besar.

Para tenaga kesehatan itu silih berganti satu sama lain. Semua demi pasien yang silih berganti pula masuk ke ruang isolasi. Selama covid, setidaknya beberapa jurnalis di Sumbar terpapar dan puluhan dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga positif karena menyelamatkan pasiennya.Kondisi itu pun kemudian diperparah, karena banyak juga masyarakat yang sudah positif tapi tidak jujur pada petugas. Ujung-ujungnya nakes sebagai benteng terakhir dalam penanganan Covid-19 banyak tertular ketika mengobati pasiennya.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini