Sumatera Barat bak Rumah Kedua

×

Sumatera Barat bak Rumah Kedua

Bagikan berita
Foto Sumatera Barat bak Rumah Kedua
Foto Sumatera Barat bak Rumah Kedua

Oleh: Khairul Jasmi

Pantai itu seperti halaman depan bagi rumah wisatawan. Saya diberi kamar yang lega, di lantai 24 hotel Sheraton Waikiki, Honolulu, Hawaii. Dari Balkon kamar 2436 saya memandang jauh ke bawah. Tak panjang benar, tapi orang sini pandai menjualnya. Semacam teluk kecil, tempat camar berhenti terbang. Di sini bukan camar, tapi orang yang berhenti dari rutinitas yang menyesakkan dada. Pantai ini lindang oleh turis yang berselancar, berenang, berlari-lari, berjemur matahari. Ombak Samudera Pasifik ini, sama saja dengan ombak Samudera Hindia yang menghempas-hempas di Pantai Padang. Ketika sampai di Hawaii pada 2017 dan terulang dua tahun kemudian, saya heran. Yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa keras benar hati orang datang ke sini, bukankah ada obyek wisata lain di dunia, seperti Bali. Ternyata orang datang bukan karena obyek semata, melainkan kedamaian hati. Di sini, mereka seperti berada di rumah kedua, karena pengelola wisata di sana, memang menyajikannya begitu. Lalu, Sumatera Barat gencar menggenjot wisatanya. Pejabatnya yang berwisata, untuk studi banding. Hasilnya, tenggelam oleh kelelahan dan album-album foto di telepon tenggam. Semestinya, operator wisata dan pers pasar itu yang diundang ke sini, sehingga setelah kembali, mereka akan berkisah, menulis dan menawarkan paket “Wisata ke Rana Minang.” Itu mimpi saya saja. Saya sering terlambat bermimpi, karena tidurnya dinihari. Ini antara lain, gara-ara WAG TOP 100 , heboh saja setiap malam. Tapi, ayam sudah lelah berkokok kala subuh, grup ini masih tidur. Dinamika WAG TOP 100 yang saya salah satu adminnha, menarik, kadang turbelensi, ketika lain, sentimen politik menjadi-jadi. Namun, acap melahirkan ide-ide untuk Sumatera Barat. Ide saja, sebab pejabat yang ada dalam grup itu, hanya satu dia yang aktif. Selebihnya, jangankan menyimak, membuka percakapan WAG saja tidak. Entah takut entah malas. Ada yang bagak, berperkara kesudahannya. Ide-ide bagus bermunculan dan bermuara pada temu darat. Paling akbar tentu yang tertuang dalam buku ini. Tema utamanya soal wisata, meski seperti bola billiard kanan-kiri menyonggil bola lainnya. Sebagai admin, saya membuat catatan singkat, sekaligus sebagai editor untuk sebuah buku yang sedang dicetak. Keinginan agar wisata Sumbar maju, sudah lama dicanangkan, diupayakan dan dikumandangkan. Hasilnya, belum beranjak lenggang dari ketiak. Walau begitu, ada gerakan yang dilakukan beberapa orang, agar wisata Sumatera Barat makin dikenal dan maju. Maka pada suatu hari saya ke Kayu Tanam, mencari lokasi untuk kios buah tropis. Ini dimaksudkan, karena saya dengar turis China akan masuk. Untung belum tertawar kios orang, Covid-19 datang menimpa. Wisata, tiarap nyaris tersungkur makan tanah. Ide-ide tentang kemajuan Sumatera Barat akan datang dari siapa saja. Masalahnya kemudian, didengar atau tidak. Sering tidak. Mungkin terlalu banyak ide, sebangun dengan yang ada dalam kepala para pemimpin atau tak mau peduli dan atau urusan banyak, tamu banyak. Entah mana yang akan didengar. Bahwa ada badan perancang pembangunan di Sumatera Barat, iya. Tapi, sepertinya rencana-rencana itu mesti disesuaikkan dengan anggaran. Ini dia problem negara birokrasi. Biarlah, itu urusan dan rukun-rukun kerja di pemerintahan, tak bisa sesuka hati. Yang bisa agak sesuka hati adalah membuat acara seminar oleh grup TOP 100. Rasa-rasanya, inilah seminar pertama yang digelar oleh sebuah anggota WAG. Kalau ada yang lain, saya saja yang tidak tahu. Yang saya tahu, anggota grup cerdas-cerdas, hampir semua idenya elok dijadikan cincin. Sayang, itu tadi, pejabat pemerintah seperti memisahkan diri dan tampil sebagai penyelamat negeri. Namun, tak seperti itu benar. Mereka juga kesulitan merealisasikan ide-ide oleh berbagai sebab, antara lain, justru hambatan di lapangan. Maka, untuk wisata, WAG TOP 100 menawarkan ide-idenya. Sepertinya, biasa-biasa saja, tapi cobalah laksanakan, bisa terbit peluh kuning dibuatnya. Itu, jika pemerintah jalan sendiri. Tatkala akademisi, cendikiawan, politikus, praktisi dan pelaku usaha, wartawan dan sastrawan menawarkan ide-ide mereka, semestinya pemerintah berbesar hati. Sekaligus mengajak mereka ikut serta. Saya tak yakin, buku ini akan bernasib seperti skripsi atau tesis bahkan disertasi, yang tersusun rapi di rak buku. Demikianlah, semoga buku berjudul SOK PATEN itu bermanfaat. Dan, ketika catatan ini dibuat tengah malam, saya kembali teringat perjalanan saya ke Hawaii, serasa nyaman dan aman di sana. Adakah kelak orang datang ke Sumatera Barat akan seperti itu? Jadi rumah kedua? Mana saya tahu…(*) Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini