Syahwat Jasadiyah dan Syahwat Hawasiyah

×

Syahwat Jasadiyah dan Syahwat Hawasiyah

Bagikan berita
Foto Syahwat Jasadiyah dan Syahwat Hawasiyah
Foto Syahwat Jasadiyah dan Syahwat Hawasiyah

Tulisan ini merupakan tindaklanjut dari tulisan sebelumnya Moralitas Kaum Shaimin.Dalam hal ini, stratifikasi tertinggi di dalam bangunan moralitas kaum shaimin berada pada posisi seorang hamba menjadikan alam semesta hanya sebagai asbab dan atau wasilah yang mengantarkannya kepada ranah mahabbah dan makrifatullah dan serta proporsionalitas dan profesionalitasnya hanya digunakan untuk menggapai radhiyatan mardhiyah dari Allah Swt.

Lantaran hal ini, si hamba senantiasa menjaga dan memelihara diri dan kehidupannya dari terjebak ke dalam tipuan syahwat jasadiyah dan syahwat hawasiyah, bahkan menghindar dari syahwat nafsiyah. Kendati performance moralitas kaum shaimin ini sulit untuk diraih di masa sekarang, namun bukan berarti tidak ada sama sekali, serta mesti ada ikhtiar yang dilakukan para shaimin dalam rangka meraihnya.Formulasi awal mengikhtiari pencapaian stratifikasi tertinggi moralitas kaum shaimin dengan cara mengartikulasikan nilai-nilai puasa sebagai poros utama kehidupan. Dalam hal ini, kebernilaian ibadah puasa berada pada titik “hampanya kehidupan hamba dari segala bentuk syahwat, sehingga yang tersisa hanya kesadaran hamba terhadap perjumpaan dengan Tuhannya”.

Ketika keberadaan nilai ini menjadi poros utama kehidupan, maka yang muncul hanyalah sifat kelemah-lembutan sebagai refleksi dari sifat kelemah-lembutan Sang Rabb al-‘Izzati.Para shaimin akan senantiasa menebarkan kasih-sayang terhadap kaum musthad’afiin, senantiasa memperlakukan seluruh makhluk-Nya dengan penuh keadilan; senantiasa mensyukuri nikmat dan Zat Sang Pemberi nikmat; senantiasa bersabar terhadap segala bentuk ujian dan bencana yang menimpa; dan bahkan senantiasa meredhai segala bentuk ketentuan Sang Maha Penentu kehidupan.

Atas dasar itu, benar adanya yang diungkapkan Muhammad Iqbal: “suatu umat akan jaya dan abadi apabila akhlak dan budi masih ada; suatu umat akan hancur dan berantakan, apabila akhlak dan budi telah tiada” sebagai refleksi dari kelemah-lembutan hamba-Nya.Ketika kondisi di atas dikaitkan dengan realita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hari ini, terbentang jelas perbedaan yang sangat signifikan. Umara seakan-akan dihalang-halangi oleh sekelompok orang di dalam menerapkan upaya pensejahteraan rakyat.

Di sisi lain, ulama merasa dikriminalisasi, atau bahkan rakyat merasa tidak diperlakukan secara adil. Dalam hal ini, apa dan siapa yang salah? Jawabannya sangat jelas bahwa kesalahan itu terletak pada titik syahwat jasadiyah, syahwat hawasiyah, dan syahwat nafsiyah dari masing-masing kelompok. Umara memainkan syahwat politik demi pelanggengan kekuasan terhadap rakyat.Ulama memainkan syahwat bermotif agama demi memobilisasi rakyat untuk “melawan” umara. Sementara itu, rakyat mengambil posisi aman demi pemenuhan syahwat jasadiyah.

Akibatnya, tercipta benang kusut sarang tampuo yang hanya bisa diselesaikan dengan api syahwat kecemburuan, yang berujung dengan peperangan. Tentu hal ini sangat tidak diinginkan demi masa depan bangsa dan negara ini.Alternatif solusi dalam rangka mengurangi kalaupun tidak akan menghabiskan syahwat di atas, dengan belajar kepada pola penyelesaian masalah keumatan oleh para ulama dahulu.

Mereka mengajarkan pentingnya nilai utama ibadah puasa dengan muatan intinya adalah keikhlasan ketika terjadi konferensi tigo tungku sajarangan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).Kesadaran nilai puasa dari setiap perwakilan untuk senantiasa mewujudkan negara berkeadilan pada dasarnya dapat menyelesaikan dan menghabiskan setiap bentuk syahwat yang ada, baik jasadiyah, hawasiyah, maupun nafsiyah.

Ketika ikhtiar ini tidak dilaksanakan, sangat berpotensi tercipta berbagai konflik di tengah berbangsa dan bernegara.Akibatnya, umara melanggengkan kekuasan, ulama semakin “membuas”, dan rakyat menderita karena lahir hukum rimba (siapa yang kuat bisa hidup, siapa yang lemah bisa mati). Atas dasar itu, disadari bahwa moralitas kaum shaimin mesti disemai di berbagai sendi kehidupan.(*)

Penulis adalah Anggota Dewan Mutasyar Daerah Persatuan Tarbiyah Islamiyah PERTI Sumbar/ Mudir (Direktur) Mahad Aly Syech Sulaiman Arrasuli

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini