PARIAMAN – Ketua Pengurus Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Sumbar, Muhammad Kamil mengatakan, manajemen pengelolaan akan berpengaruh besar terhadap kualitas kesehatan satwa, apalagi jenis satwa liar koleksi kebun binatang.
“Yang namanya satwa liar, penangkarannya mesti di habitat aslinya. Atau minimal di kawasan yang hampir mendekati habitatnya. Bukan ditangkar di kebun binatang. Apalagi itu anak harimau yang notabene bukan jenis satwa peliharaan,” kata Muhammad Kamil kepada Singgalang, Sabtu malam (16/7).
Sebagai satwa liar, penangkaran terhadap anak harimau tak bisa disamakan dengan perlakukan terhadap satwa peliharaan lainnya. Anak harimau punya insting dan psikologi berbeda dengan satwa peliharaan ketika berdekatan dengan kehidupan manusia.
Apalagi, kalau sampai keberadaan satwa liar itu diekploitasi untuk kebutuhan hiburan, sebagai mainan maupun sebagai tontonan, tanpa ada pula pembatasan terhadap mereka. Kondisi tersebut sangat rentan mempengaruhi tingkat stres serta kualitas kesehatan hewan.
Dikatakan, kalau benar keberadaan dua anak harimau yang mati di TMSBK Bukittinggi itu, sebelumnya diekploitasi oleh pengelola sebagai tontonan, mainan atau untuk hiburan serta bebas saja dipegang dan diperlakukan oleh manusia, ini jelas sangat rentan mempengaruhi tingkat kesehatan anak harimau.
“Kalau dibiarkan pengunjung bebas memegang, menggendong atau bermain dengan anak-anak harimau, siapa yang bisa menjamin pengunjung itu steril dari bakteri atau penyakit? Bisa jadi pengunjung itu akan menularkan penyakit kepada si anak harimau,” kata M. Kamil.
Belum lagi tingkat stres dan dampak psikologi akibat bebasnya tangan manusia memegang dan menjadikan anak-anak harimau sebagai mainan. Setiap tangan akan berbeda perlakukannya. Dampaknya juga akan berbeda pula dirasakan oleh anak harimau.
Penangkaran satwa liar itu ada standar operasional prosedurnya. Termasuk penanganan masalah medisnya. Sepanjang semua dilaksanakan sesuai standar prosedur, diyakini tak akan ada masalah dalam proses penangkaran satwa liar.
Selaku tim medis yang bertanggungjawab terhadap kesehatan satwa, seorang dokter hewan punya kode etik profesi, punya standar prosedur dan dipastikan sudah punya kompetensi menangangi masalah kesehatan hewan. Tinggal lagi apakah prosedur tersebut berjalan sebagaimana mestinya.
Kalaupun penanganan medis oleh dokter hewan tak bisa menyembuhkan, sehingga menyebabkan satwa tersebut mati, bukan lantas dokter hewan bisa disalahkan. Kecuali jika penanganan medisnya melanggar prosedur atau ada indikasi kesalahan penanganan atau mall praktek. Ini perlu penelusuran lebih jauh.
Bisa jadi kematian satwa tersebut, berawal dari kesalahan manajemen pengelolaan. Misalnya perlakukan terhadap satwa yang tak sesuai standar, daya dukung lingkungan tak sesuai dengan pola kehidupan satwa yang menyebabkan satwa sakit. Bisa juga kematian akibat kesalahan penanganan medis, kata Kamil. (tomi)
Komentar